Oleh: Ahmad Fawaid
LAKPESDAM MWC NU Paiton
Prawacana
Selama dua puluh tiga tahun,
dengan segala kharisma dan kehebatan yang dimilikinya, nabi Muhammad mampu
meredam dan merubah kefanatikan kabilah menjadi kefanatikan agama. Awalnya,
masyarakat Arab bangga dengan nama suku yang disandangnya, namun mereka merasa
malu menggunakan gelar kesukuannya setelah Nabi merubah pandangan dunia (wordview)
dengan nuansa persatuan Islam (Ummah Wahidah). Seperti gelar
kesukuan al-Tamimi, al-‘Adi, al-Zahri, di masa Nabi
mereka merasa malu menggukannya dan bangga dengan sebutan al-Siddiq,
al-Faruq, al-Murtadla.
Sepeninggal nabi, sukuisme menguat kembali dan perlahan menggeser gelar Islam yang pernah nabi tanamkan dulu. Puncaknya terjadi pada Perang siffin [18/07/657 M.], konflik panjang yang terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Dua klan ini sejak sepeninggal nabi disinyalir telah terlibat dalam perebutan tampuk kekuasaan secara diam-diam. Terlihat begitu kuatnya sukuisme memengaruhi dinamika pemikiran saat itu. Tidak dapat dibendung, perang siffin pecah dan menjadi awal sejarah yang membidani munculnya beberapa partai politik yang hadir dalam tubuh Islam.
Adalah gerekan radikal
Khawarij, partai pertama yang muncul dalam merespon pertikaian politik pada
masa Ali bin Abi Thalib. Kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari rentetan
sejarah yang membentuk episteme Khawarij yang puritan. Dan hampir semua partai
yang tumbuh setelah Khawarij juga merupakan didikan zamannya, muncul dari
gelombang arus pertikaian politik yang didasari atas nama agama. Karena
kekerasan yang dianggap ampuh dalam mengoprasikan pola pikirnya, Khawarij
mencatat sejarah buram dalam peradaban Islam.
Kini, Khawarij telah hangus
terbakar oleh api sejarah. Namun model gerakannya banyak menginspirasi
gerakan-gerakan puritan setelahnya. Adakah keterkaitan? Semoga tulisan ini
mewakili atas jawaban dari pertanyaan tersebut.
A.
Khawarij; Dari Pemikiran ke Gerakan
Ekstrem
Kaum Khawarij
kebanyakan dari suku badui yang memiliki watak keras. Mereka adalah kaum
imigran nomad yang berdatangan ke Irak untuk melancarkan aksi penaklukan yang
pada akhirnya mendapat kemenangan dramatis.[1]
Nama Khawarij datang setelah gerakan ini muncul dipermukaan. Nomenklatur ini mengundang
banyak perdebatan di antara pakar teolog muslim. Namun pada titik tertentu
mereka sepakat pada sebuah definisi yang menyatakan bahwa Khawarij adalah
kelompok yang tidak sepakat terhadap proses arbitrase[2]
yang dilakukan oleh Imam Ali serta mengkafirkan beberapa sahabat Nabi termasuk Ali,
Usman, Mua’awiyah dan sahabat yang menerima arbitrase.[3]
Sebenarnya banyak istilah mengenai kelompok Khawarij yang tidak mungkin
tertuang seluruhnya dalam tulisan ini dan juga rentetan sejarah yang terlewati
demi lebih memfokuskan pada aspek kontinuitas dan diskontinuitas sejarah
pemikiran Khawarij.
Alasan yang berkembang dalam beberapa
literatur terkait dengan hengkannya kelompok ini dari barisan Ali adalah karena
Ali menerima hukum manusia, sedangkan prinsip yang mereka pahami adalah hukum
hanya dimiliki oleh Allah semata, dengan semboyannya “la hukma illa Allah”.[4]
Pada tataran ini, mucul beberapa pertanyaan teologis. Bagaimana hukum keputusan
manusia? Bagaimana pelaku dosa besar? Namun kalau ditinjau lebih kritis
persoalan terbentuknya gerakan Khawarij, partai ini tidak hanya dibidani oleh
pemikiran yang bernuansa teologis an sich, melainkan kaum Khawarij juga
terprovokasi oleh dominasi kesukuan yang dikuasai oleh suku Quraish lebih dari
dua puluh lima tahun. Kelompok Khawarij yang didominasi suku nomad tidak memiliki
sikap mental politik yang baik. Mereka memiliki kecenderungan eksklusif,
skriptualis dalam memahami agama, dan lebih mementingkan suku atau klannya
sendiri.[5]
Barangkali terpengaruh oleh sifat kebaduihannya, kaum Khawarij juga memiliki
fanatisme yang sangat ekstrim atas ajaran yang diyakini. Pemahaman teologi Khawarij
ini, yang menganggap dirinya adalah pemegang otoritas kebenaran dan sekte diluar
dirinya dianggap sebagai menyimpang dari ajaran agama sebenarnya, datang dalam
kondisi politik dan sosial yang sangat labil.[6]
Sekian lama melihat
percaturan politik dalam tubuh Islam semakin menampilkan wajah yang suram dari
sejak terbunuhnya Umar hingga politisasi yang terjadi antara Ali dan Muawiyah memunculkan
ide untuk membangun arus gerakan politik sendiri, berbeda dengan “imajinasi
sosial” dan soft politic yang dilakukan oleh kalangan Ahl al-Sunnah.[7] Dengan
terpilihnya Abdullah bin Wahb Al-Rashibi mengindikasikan gerakan Khawarij
semakin terorganisir dengan baik.[8]
Dua tahun setelah peristiwa
arbitrase, Pada tahun 659 M., gerakan Khawarij muncul dengan kekuatan sebesar
4000 pasukan dibawah pimpinan Abdullah Ibnu Wahhab Al-Rashibi untuk menyerang
kekuasaan Ali. Kemudian Ali membalas serangan tersebut di tepi kanal Nahrawan dan
hampir memusnahkan mereka.[9]
Walaupun pasukan Ali mampu memporakporandakan kelompok Khawarij, namun
ideologinya telah memengaruhi banyak individu. Salah satunya adalah Abdurrahman
bin Muljam yang menghunus dahi Ali dengan pedang beracunnya saat ia dalam
perjalanan menuju masjid Kufah.[10]
Dalam beberapa riwayat, Saat membunuh Abdurrahman mengatakan “al-h}ukmu li
Allah, la> laka ya> ali>, wala> li as}h}a>bika” (yang
memiliki otoritas hukum itu hanya Allah, bukan kamu dan sahabatmu).[11]
Dari penjelasan di atas, ada
sebagian pakar berpendapat bahwa sekte Khawarij adalah sekelompok politik yang membawa
nama agama dalam sebuah pemerintahan. bagi Pendapat ini tidak dapat disalahkan
sepenuhnya, sebab keberadaan Khawarij pada awalnya tidak berkaitan dengan masalah
agama, apalagi teks keagamaan. Setelah terdapat ketegangan politik antara Ali dengan
Mu’awiyyah, secara instan kelompok ini muncul di permukaan. Dengan kata lain,
kemunculan mereka berangkat dari realitas politik, bukan dari teks keagamaan.
B.
Pemikiran Khawarij
1.
Konsep Kepemimpinan Khawarij
Sebagai kelompok sparatis, Khawarij
memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang berkembang saat
itu, baik dalam kepemimpinan, pelaku dosa besar, dan pemahaman terhadap teks
al-Quran. Kelompok ini melawan konsep yang telah pakem tentang kepemimpinan.
Menurutnya, kepemimpinan dalam Islam tidak harus dari suku Quraish, bahkan orang
diluar suku Quraish juga memiliki hak untuk menjadi pemimpin. Selama seseorang
berpredikat muslim yang adil, memiliki integritas, baik ilmu dan agamanya, dan
mampu melaksanakan tanggung jawab sebagai pemimpin, berhak menjadi pemimpin.
Bagi pemimpin Negara yang mencedarai jabatannya, kelompok ini menganggapnya telah
keluar dari Islam dan harus digulingkan atas nama reformasi.[12]
Khawarij seolah ingin melepas diri dari belenggu hegemoni kekuasaan Quraish
yang sejak lama duduk dalam tampuk kekuasaan, dari masa ke khalifahan Abu Bakar
sampai pada akhir abad ke 4 H, dimana pada waktu itu al-Mawardi hidup.[13]
Dari sisi inilah Khawarij terlihat lebih demokratis dari kelompok Islam yang
berkembang di zamannya yang mengharuskan pemimpin dari kalangan Quraish—terlepas
dari kedok tendensi pribadi mereka yang anti-pemerintah saat itu.
Khawarij, seperti sekte-sekte
Islam yang muncul belakangan, menganggap perlu terhadap kepemimpinan dalam Islam.
Hanya saja kepemimpinan dalam pandangan Khawarij adalah merupakan tangan
panjang Tuhan yang harus menerapkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam sebuah negara.
Mereka menolak segala tindakan yang bersumber hasil keputusan manusia.[14]
Atas dasar ini khawarij keluar dari barisan Ali dalam pereng Siffin dan
menghukumi Ali kafir karena telah keluar dari ajaran agama
2.
Konsep Pelaku Dosa Besar (al-Kaba>i>r)
dan Pengkafiran (Takfi>r)
Iman adalah hal mendasar
dalam agama Islam yang secara definitif diartikan dengan sebuah pengakuan seseorang
terhadap Allah sebagai Tuhan secara verbal yang disertai oleh kemantapan hati
serta melaksanakan perintahnya sebagai konsekuensi dari pengakuan tersebut. Iman
adalah dasar dari segala bentuk perilaku seorang muslim dalam menjalankan
agama. Bahkan sebagian pendapat mengatakan perbuatan baik yang tidak didasari
oleh iman kepada Allah adalah sia-sia. Begitu juga sebaliknya, beriman kepada Allah
namun tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari iman tersebut
adalah Fasiq, bahkan kafir dalam pandangan Khawarij.
Dalam pandangan Khawarij, amal
perbuatan manusia merupakan bagian dari iman. Dari pandangan ini dapat dipahami
juga bahwa seorang muslim yang meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan Allah,
maka ia telah meninggalkan imannya.[15]
Iman—masih dalam pandangan Khawarij—tidak bisa dipisahkan dari perbuatan
seorang muslim. Seseorang dalam keadaan mukmin ketika tindakannya tidak
dipengaruhi oleh perbuatan kufur, munafik, dan perbuatan jahiliyah. Begitu juga
seorang muslim, ia bisa jadi dikatakan kafir dan mushrik saat dalam dirinya
tidak ada lagi iman yang tercermin dalam perbuatannya.[16]
Pendapat Khawarij tentang
eksistensi iman ini memeroleh beberapa kritik dari sekte-sekte Islam
setelahnya. Seperti sekte Murji’ah yang menegasikan iman terhadap keislaman
seseorang, sebab iman menurutnya ada dihati, dan tidak memengaruhi terhadap perbuatan
dosa seorang muslim. Sementara sekte yang lebih moderat, yang mampu
mengombinasikan beberapa pendapat sebelumnya dengan baik adalah sekte yang
dipelopori oleh al-Ash’ari> (w. 330 H.).[17]
Episteme Khawarij
di atas menjadi tolak ukur untuk mengkafirkan paham keagamaan di luar
kelompoknya. Setidaknya ada dua alasan pengkafiran tersebut. Pertama, karena
Khawarij menganggap seorang muslim menjadi kafir apabila telah melakukan dosa
besar, atau dosa kecil yang berturut-turut sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Kedua, pemahamannya terhadap ayat yang berbunyi:Waman Lam
Yahkum Bima> Anzala Alla>h Faula>ika Hum Al-Kafiru>n (barang
siapa yang tidak melaksanakan hukum Allah, maka kafir). Khawarij berpendapat
setiap kelompok yang berbeda dengannya telah menyalahi hukum Allah, mereka
yakin kelompoknya adalah kelompok yang paling benar.[18]
3.
Konsepsi Khawarij Menyikapi
Teks keagamaan
Al-Qur’an dalam menyampaikan
pesan ketuhanan kepada manusia tidak jarang menggunakan gaya bahasa general-metaforis.
Untuk memahaminya, mufassir membutuhkan beberapa perangkat kebahasaan untuk
mengungkap rahasia di dalamnya. Di samping itu, Teks al-Qur’an tidak bisa
dilepaskan dari ruang waktu dan konteks sosialnya yang melingkupinya (Asba>b
al-Nuzu>l). Oleh karenanya, Perbedaan para penafsir al-Qur’an dari abad
ke 2 H sampai hari ini dalam melakukan interpretasi terhadap al-Qur’an adalah
merupakan bukti konkret bahwa al-Qur’an memiliki multi penafsiran yang tetap aktual
dalam setiap zaman (S}a>lih Likulli Maka>n Wa Zama>n).
Penafsiran dengan
mempertimbangkan teks kebahasaan dan konteks sosial ini tidak diterima oleh kelompok
Khawarij. Al-Qur’an dan sunnah harus dipahami sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan
makna dibalik sebuah teks (magza>). Sehingga yang berkuasa dalam
menyelesaikan problem-problem sosial adalah teks. Tafsir pun tercerabut dari
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Menurutnya, menafsirkan teks al-Qur’an
dan hadis dianggap sebagai keinginan hawa nafsu yang tidak seharusnya dilakukan.[19]
C.
Kontinuitas dan
Diskontinuitas; Wacana Neo-Khawarij
Secara struktural, memang
tidak ada hubungannya antara Khawarij dengan gerakan Islam puritan yang telah
menjamur di dunia Islam. Gerakan Islam puritan bahkan menolak dirinya dianggap
sebagai propaganda dari golongan Khawarij. Islam puritan, seperti Wahhabi dan
kelompok puritan lain, lebih suka dirinya disebut sebagai kelompok salafi yang
pernah ada pada masa lalu Islam. Semangat ingin mengembalikan era keemasaan seperti
pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi yang shalih (Salafuna>
Al-Sa>lih) dengan segenap sitem politik yang berlaku pada saat itu menjadi
orientasi hampir setiap gerakan Islam puritan.[20]
Sehingga terkadang isu-isu yang diusung, seperti formalisasi syari’at Islam dan
penegakan sistem khilafah Islamiyah dalam pemerintahan, terlalu berlebihan dan
tidak realistis.
Gerakan Wahhabi, aliran puritan
yang menjadi sample dalam kajian ini, adalah gerakan yang didirikan oleh seorang
fanatik abad ke 18, yaitu Muhammad bin Abd al-Wahab (w. 1792 M.). Gagasan utama
Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyipang
dari jalan Islam yang benar, dan hanya kembali kepada agama yang benar akan
diterima oleh Allah. Semangat puritan inilah yang menjadi dasar ajaran wahhabi
untuk membersihkan Islam dari faktor-faktor di luar Islam.
Pada masa abd al-Wahhab
hidup, modernitas telah merebah ke dunia Islam yang memperkenalkan relativitas dan
subjektivitas semua pengetahuan manusia. Pada puncaknya, modernitas menambah
kompleksitas tatanan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat tradisional
berjuang dan berusaha untuk mengimbangi menjadi masyarakat modern dan
berkembang.[21]
Pada tataran ini, masyarakat Islam memiliki respon berbeda-beda terhadap
modernitas, sebagian kelompok menyelaraskan ajaran Islam dengan modernitas
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad Abduh (w. 1905 M.), Muhammad Rasyid
Ridha (w. 1935 M.) dan para tokoh pembaharuan abad ke-19. Sebagian yang lain
merespon dengan keras menolak modernitas sebagaimana Abd al-Wahhab.[22]
Menurut Wahhabi, masyarakat
muslim harus kembali kepada ajaran fundamental Islam dengan mengimplementasikan
perintah dan sunnah Nabi secara literal, dan dengan secara ketat menaati ritual
yang benar. Wahhabi menyikapi teks-teks keagamaan sebagai satu instruksi manual
untuk menggapai model yang sebenarnya dari Negara kota madinah yang telah
dibangun oleh Nabi. Jika masyarakat muslim mengembalikan segala persoalan
kepada al-Qur’an, umat Islam tidak akan mengalami keterbelakangan kolektif.[23]
Disamping sikap literalis, Wahhabi
cenderung menolak praktik mazhab hukum yang sudah lama terbangun dan
berlangsung dalam dunia Islam. Mereka menganggap bahwa menerima keberagaman
pendapat yang sama-sama dianggap sebagai pendapat yang legal dan benar
merupakan awal dari perpecahan umat Islam. Tidak heran jika kaum Wahhabi mengumbar
ungkapan teroris kepada para ahli hukum terkemuka yang dinilainya bid’ah. Selain
itu, kaum Wahhabi menganggap bid’ah merupakan bentuk perbuatan apapun yang
tidak pernah ada pada masa rasul, terlebih sesuatu yang datang dari barat
walaupun pada hakikatnya baik dan tidak menyalahi prinsip agama.[24]
Hubungan harmonis antara agama dan negara, terutama terbentuknya lembaga atau
institusi yang berlabelkan Islam menjadi agenda besar dari gerakan wahhabi.[25]
Ada beberapa karakter yang dapat
terlihat dari ciri-ciri gerakan wahhabi, atau kelompok puritan lain. Pertama, kecenderungan
melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks keagamaan sekaligus penolakan
tafsir kontekstual atas teks agama. Sebab mendialogkan teks dengan konteks
sosial dianggap akan mereduksi kesucian agama. Kedua, menolak pluralism dan relativisme,
karena dianggap sebagai pemahaman yang telah mendistorsi agama. Ketiga, monopoli
kebenaran atas teks agama. Islam puritan menganggap dirinya sebagai pemegang
otoritas kebenaran, dan kelompok di luarnya dianggap telah melakukan
penyelewengan dalam agama. Keempat, mereka membangun semua ajarannya dengan
penuh sikap fanatisme, eksklusifisme, intoleran, dan militanisme. Bentuk
perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi golongannya
menjadi ciri khas dari aksi dan tindakan mereka.[26]
Gerekan Islam
puritan lambat laun semakin membuat getir masyarakat Islam secara umum. Nama-nama
seperti Shalih Saraya (diekskusi pada 1975), Syukri Musthafa (diekskusi pada
1978), dan Muhammad Abd Salam Faraj (diekskusi pada 1982) menjadi momok bagi
masyarakat Mesir saat mereka mengumbar teror terhadap perilaku yang dianggap bid’ah.
Anwar Sadad (w. 1981) adalah salah satu fakta konkret korban pembunuhan yang
digencarkan oleh Islam puritan ini. Ia diduga telah melakukan bid’ah dalam
agama dan direkomendasikan untuk dibunuh. Faraj yang menjadi otak dari
pembunuhan Anwar mempropagandakan operasi militer secara inten terhadap
penguasa seluruh Negara muslim yang melakukan praktik bid’ah di dalam bukunya
yang berjudul “al-Faridah al-Ghaybah”
.[27]
Wacana
neo-Khawarij yang secara implisit ditujukan kepada Islam puritan menjadi bahan perbincangan
para tokoh agama sejak tragedi 11 september 2001. Walaupun sacara struktural
tidak ada pernyataan yang ekplisit atau matarantai yang jelas antara Islam
puritan dan Khawarij, kemiripan praktik dan tindakan kedua gerakan tersebut
menjadi isu yang dikait-kaitkan oleh beberapa kalangan. Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa pemikiran atau gerakan sekte-sekte Islam
merupakan didikan zamannya. Mereka lahir dalam segala aspek yang melingkupinya,
sosio-historis, politik, dan budaya yang relatif berubah sesuai dengan
akslerasi kehidupan manusia. Khawarij telah tercerabut dari akar sejarah, namun
pemikiran dan epistemnya tetap hidup menginspirasi zaman berikutnya. Dan
akhirnya, hadir kembali dengan bentuk dan nama yang berdeda. Wallahu A’lam.
DAFTAR
RUJUKAN
Abd al-Wahhab, Muhammad ibn. Risa>lah Al-Tauhi>d.
t.t.: Dar Ihya>’ Al-Tura>ts, t.th.
Abou Fadl, Khaled. Selamatkan Islam Dari Muslim
Puritan, terj. Helmi Musthafa. Jakarta: Serambi, 2006.
Asy’ari (Al). al-Iba>nah
‘an Ushu>l Al-Diya>nah. Kairo: Dar al-Anshar, 1977
Bagdadi (Al), Abu Manshur Abdul Qahir Muhammad. Al-Farqu
Baina Al-Firaq Wa Baya>n Al-Firqah Al-Na>jiyah Minhum; ‘Aqa>id Al-Firaq
Al-Isla>Miyyah
Wa Ara>’ Kaba>i>r A’lamiha. Kairo: Maktabah
Ibnu Sina, t.th.
Bin Ali ‘Iwaji, Ghalib. Firqah Mu’a>s}irah
Tansibu Ila> Al-Isla>m Wa Baya>n Mauqif Al-Isla>m Minha>. Jeddah:
Maktabah Al-‘Ashriyyah Al-Dahabiyyah, 2001.
Hifdi (Al), Abdul Latif Bin Abdul Qadir. Ta’tsi>r
Al-Mu’tazilah Fi> Al-Khawa>rij Wa Al-Shi>’ah. Jeddah: Dar Al-Andalus,
2000.
Ibnu Khaldun,
Abdurrahman. Tari>kh Ibn Khaldun. Beirut: Dar Al-Fikr, 2001.
‘Iwaji (Al), Ghalib Bin Ali. “Al-Kha>warij
Tari>khuhum Wa Ara>uhum Al-I’tiqa>diyyah Wa Mauqif Al-Isla>m
Minha>”.
Tesis—King Abdul Aziz University, t.th.
Kasdi, Abdurrahman. “Fundamentalisme Islam Timur
Tengah”, Tashwirul Afkar, Vol. 12 ,2002.
K. Hitti,
Phlilip. History Of The Arab, Terj. Jakarta: serambi, 2006.
Magribi (Al), Ali Abdul Fattah. Al-Firaq Al-Kala>miyyah
Al-Isla>miyyah;
Madkhal Wa Dira>sah. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.
Mawardi (Al), Abu Hasan Muhammad Bin Habib. Al-Ahka>m
Al-Sultha>niyyah Wa Al-Wila>ya>t Al-Di>niyyat. Kuait: Maktabah
Dar Ibn Qutaibah, 1989.
Mulyati, Sri. “Pertarungan (Pemikiran) NU Dan
Kelompok Islam Lain”, Tashwirl Afkar, Vol. 21, 2007.
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-press, 2002.
Sa’adah, Abu. ”Al-Khawa>rij Fi>
Mi>za>n Fikr Al-Isla>mi”. Disertasi—al-Hilwan University, Kairo,
1998.
Syihristany (Al). Al-Milal Wa Al-Nihal. Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. 1992.
Taimy (Al), Abdullah.
Waqafa>t Ma’a Al-Khawa>rij Al-Judud. t.t.: t.p., 2009.
Zahra, Abu. Tari>kh
Al-Mada>hib Al-Isla>Miyyah. Kairo:
Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1997.
Baso, Ahmad. NU STUDIES; Pergolakan
Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
[1] Gha>lib bin A<li>
‘Iwaji>, Firqah Mu’a>s}irah Tansi>bu Ila> Al-Isla>m Wa
Baya>n Mauqi>f Al-Isla>m Minha> (Jeddah: Maktabah Al-‘Ashriyyah
Al-Dahabiyyah, 2001), jilid, 1., 226.
[2] Apa yang terjadi
dalam perundingan bersejarah ini sulit dipastikan. Berbagai versi muncul dalam
berbagai sumber. Riwayat yang populer adalah kedua pihak, Abu Musa dan Amr Bin
Ash, memecat kedua pemimpin mereka. Tapi, setelah Abu Musa mengumumkannya, ‘Amr
menghianatinya dan menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Pendapat ini yang berkembang
pada pemerintahan Abbashiyah, musuh Umawiyah. Philip K. Hitti, mengutip
pendapat Pere Lammens, berpendapat bahwa yang mungkin terjadi dalam perundingan
tersebut adalah kedua arbitor memecat kedua pemimpin mereka, sehingga Ali menjadi
kelompok yang kalah. Sebab Mu’awiyah tidak memiliki jabatan apa-apa untuk
diletakkan. Berdasarkan keputusan arbitor, Ali dilengserkan dari jabatan ke
khalifahan sebenarnya, sementara Mu’awiyah dilengserkan dari jabatan fiktif
yang ia klaim dan belum berani ia kemukakan. Lih. Phlilip K. Hitti, History
Of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Diyadi (Jakarta:
serambi, 2006), 227.
[3] Abu> Mans}u>r
Abdul Qa>hir Muh}ammad Al-Bagda>di>, Al-Farq Baina Al-Firaq Wa
Baya>n Al-Firqah Al-Na>jiyah Minhum; ‘Aqa>id Al-Firaq Al-Isla>miyyah Wa Ara>’ Kaba>i>r
A’la>miha (Kairo:
Maktabah Ibnu Sina, t.th.), 73.
[4] Al-Shihrista>ni>,
Al-Milal Wa Al-Nih}al (Beiru>t: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 107.
[5] Abdullah Al-Taimi>,
Waqafa>t Ma’a Al-Khawa>rij Al-Judud (t.t. t.p. 2009), 12.
[6] Abdul Latif Bin
Abdul Qadir Al-Hifdi, Ta’tsi>r Al-Mu’tazilah Fi> Al-Khawa>rij Wa Al-Shi>’ah
(Jeddah: Dar Al-Andalus), 324.
[7] Untuk lebih jelas
mengenai penjelasan gerakan imajinasi sosial dan soft politic yang
dilakukan oleh kalangan ahl al-Sunnah, lihat Ahmad Baso, NU STUDIES; Pergolakan
Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006), 69.
[8] Harun Nasution, Teologi
Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-press, 2002),
13.
[9] Phlilip K. Hitti, History
Of The Arab…….., 227.
[10] Ibid, 227.
[11]Abdurrah}man Ibn
Khaldu>n, Ta>ri>kh Ibn Khaldu>n (Beiru>t: Da>r
Al-Fikr, 2001), juz II., 645. Namun dalam pandangan Hitty, motif Abdurrahman
bin Muljam karena ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita,
temannya, yang terbunuh di Nahrawan. Lih. Phlilip K. Hitti, History Of The
Arab….., 227.
[13] Abu Hasan Muhammad
Bin Habib Al-Mawardi, Al-Ahka>m Al-Sultha>niyyah Wa Al-Wila>ya>t
Al-Di>niyyat (Kuwait: Maktabah Da>r Ibn Qutaibah, 1989), 5.
[14] ‘A<li> Abd al-Fatta>h
Al-Magribi>, Al-Firaq Al-Kala>miyyah Al-Isla>miyyah; Madkhal Wa
Dira>sah
(Kairo: Maktabah Wahbah, 95), 168.
[15] Abu Sa’adah, ”Al-Khawa>rij
Fi> Mi>za>n Fikr Al-Isla>mi” (Disertasi—al-Hilwan University,
Kairo, 1998), 150.
[16] Ibid., 151.
[17] Nama lengkapnya
adalah ‘Ali bi Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Musa Al-Asy’ari. Nama Asy’ari merupakan
nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari Qahthan yang kemudian
menjadi nama suku di Yaman. Lih. Al-asy’ari>, al-Iba>nah ‘an Ushu>l
Al-Diya>nah (kairo: dar al-Anshar, 1977),11.
[18] Abu Sa’adah, ”Al-Khawa>rij
Fi> Mi>za>n Fikr Al-Isla>mi>”….., 166.
[19] Ghalib Bin Ali Al-‘Iwaji,
“Al-Kha>warij Tari>khuhum Wa Ara>uhum Al-I’tiqa>diyyah Wa Mauqif
Al-Isla>m Minha>” (Tesis—King Abdul
Aziz University, t.th.), 234.
[20] Khaled Abou Fadl, Selamatkan
Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Musthafa (Jakarta: Serambi, 2006),
94.
[21] Ibid, 62.
[22] Sri Mulyati, “Pertarungan
(Pemikiran) NU Dan Kelompok Islam Lain”, Tashwirl Afkar, Vol. 21 (2007),
15.
[23] Muhammad bin Abdul
Wahhab, Risa>lah Al-Tauhi>d (t.t.: Dar Ihya’ Al-Turats, th.th.),
62.
[24] Khaled Abou Fadl, Selamatkan
Islam Dari Muslim Puritan…., 67.
[25] Abdurrahman Kasdi, “Fundamentalisme
Islam Timur Tengah”, Tashwirul Afkar, Vol. 12 (2002), 23.
[26] Ibid, 21.
[27] Ibid, 22.
0 komentar:
Posting Komentar