Sabtu, 13 September 2014

MELACAK EMBRIO GERAKAN ISLAM PURITAN (Suatu Tinjauan Kontinuitas dan Diskontinuitas Sejarah Pemikiran Khawarij)



Oleh: Ahmad Fawaid
LAKPESDAM MWC NU Paiton

Prawacana
Selama dua puluh tiga tahun, dengan segala kharisma dan kehebatan yang dimilikinya, nabi Muhammad mampu meredam dan merubah kefanatikan kabilah menjadi kefanatikan agama. Awalnya, masyarakat Arab bangga dengan nama suku yang disandangnya, namun mereka merasa malu menggunakan gelar kesukuannya setelah Nabi merubah pandangan dunia (wordview) dengan nuansa persatuan Islam (Ummah Wahidah). Seperti gelar kesukuan al-Tamimi, al-‘Adi, al-Zahri, di masa Nabi mereka merasa malu menggukannya dan bangga dengan sebutan al-Siddiq, al-Faruq, al-Murtadla.

Sepeninggal nabi, sukuisme menguat kembali dan perlahan menggeser gelar Islam yang pernah nabi tanamkan dulu. Puncaknya terjadi pada Perang siffin [18/07/657 M.],  konflik panjang yang terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Dua klan ini sejak sepeninggal nabi disinyalir telah terlibat dalam perebutan tampuk kekuasaan secara diam-diam. Terlihat begitu kuatnya sukuisme memengaruhi dinamika pemikiran saat itu. Tidak dapat dibendung, perang siffin pecah dan menjadi awal sejarah yang membidani munculnya beberapa partai politik yang hadir dalam tubuh Islam.
Adalah gerekan radikal Khawarij, partai pertama yang muncul dalam merespon pertikaian politik pada masa Ali bin Abi Thalib. Kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari rentetan sejarah yang membentuk episteme Khawarij yang puritan. Dan hampir semua partai yang tumbuh setelah Khawarij juga merupakan didikan zamannya, muncul dari gelombang arus pertikaian politik yang didasari atas nama agama. Karena kekerasan yang dianggap ampuh dalam mengoprasikan pola pikirnya, Khawarij mencatat sejarah buram dalam peradaban Islam.
Kini, Khawarij telah hangus terbakar oleh api sejarah. Namun model gerakannya banyak menginspirasi gerakan-gerakan puritan setelahnya. Adakah keterkaitan? Semoga tulisan ini mewakili atas jawaban dari pertanyaan tersebut.
A.    Khawarij; Dari Pemikiran ke Gerakan Ekstrem
Kaum Khawarij kebanyakan dari suku badui yang memiliki watak keras. Mereka adalah kaum imigran nomad yang berdatangan ke Irak untuk melancarkan aksi penaklukan yang pada akhirnya mendapat kemenangan dramatis.[1] Nama Khawarij datang setelah gerakan ini muncul dipermukaan. Nomenklatur ini mengundang banyak perdebatan di antara pakar teolog muslim. Namun pada titik tertentu mereka sepakat pada sebuah definisi yang menyatakan bahwa Khawarij adalah kelompok yang tidak sepakat terhadap proses arbitrase[2] yang dilakukan oleh Imam Ali serta mengkafirkan beberapa sahabat Nabi termasuk Ali, Usman, Mua’awiyah dan sahabat yang menerima arbitrase.[3] Sebenarnya banyak istilah mengenai kelompok Khawarij yang tidak mungkin tertuang seluruhnya dalam tulisan ini dan juga rentetan sejarah yang terlewati demi lebih memfokuskan pada aspek kontinuitas dan diskontinuitas sejarah pemikiran Khawarij.
Alasan yang berkembang dalam beberapa literatur terkait dengan hengkannya kelompok ini dari barisan Ali adalah karena Ali menerima hukum manusia, sedangkan prinsip yang mereka pahami adalah hukum hanya dimiliki oleh Allah semata, dengan semboyannya “la hukma illa Allah”.[4] Pada tataran ini, mucul beberapa pertanyaan teologis. Bagaimana hukum keputusan manusia? Bagaimana pelaku dosa besar? Namun kalau ditinjau lebih kritis persoalan terbentuknya gerakan Khawarij, partai ini tidak hanya dibidani oleh pemikiran yang bernuansa teologis an sich, melainkan kaum Khawarij juga terprovokasi oleh dominasi kesukuan yang dikuasai oleh suku Quraish lebih dari dua puluh lima tahun. Kelompok Khawarij yang didominasi suku nomad tidak memiliki sikap mental politik yang baik. Mereka memiliki kecenderungan eksklusif, skriptualis dalam memahami agama, dan lebih mementingkan suku atau klannya sendiri.[5] Barangkali terpengaruh oleh sifat kebaduihannya, kaum Khawarij juga memiliki fanatisme yang sangat ekstrim atas ajaran yang diyakini. Pemahaman teologi Khawarij ini, yang menganggap dirinya adalah pemegang otoritas kebenaran dan sekte diluar dirinya dianggap sebagai menyimpang dari ajaran agama sebenarnya, datang dalam kondisi politik dan sosial yang sangat labil.[6]
Sekian lama melihat percaturan politik dalam tubuh Islam semakin menampilkan wajah yang suram dari sejak terbunuhnya Umar hingga politisasi yang terjadi antara Ali dan Muawiyah memunculkan ide untuk membangun arus gerakan politik sendiri, berbeda dengan “imajinasi sosial” dan soft politic yang dilakukan oleh kalangan Ahl al-Sunnah.[7] Dengan terpilihnya Abdullah bin Wahb Al-Rashibi mengindikasikan gerakan Khawarij semakin terorganisir dengan baik.[8]
Dua tahun setelah peristiwa arbitrase, Pada tahun 659 M., gerakan Khawarij muncul dengan kekuatan sebesar 4000 pasukan dibawah pimpinan Abdullah Ibnu Wahhab Al-Rashibi untuk menyerang kekuasaan Ali. Kemudian Ali membalas serangan tersebut di tepi kanal Nahrawan dan hampir memusnahkan mereka.[9] Walaupun pasukan Ali mampu memporakporandakan kelompok Khawarij, namun ideologinya telah memengaruhi banyak individu. Salah satunya adalah Abdurrahman bin Muljam yang menghunus dahi Ali dengan pedang beracunnya saat ia dalam perjalanan menuju masjid Kufah.[10] Dalam beberapa riwayat, Saat membunuh Abdurrahman mengatakan “al-h}ukmu li Allah, la> laka ya> ali>, wala> li as}h}a>bika” (yang memiliki otoritas hukum itu hanya Allah, bukan kamu dan sahabatmu).[11]
Dari penjelasan di atas, ada sebagian pakar berpendapat bahwa sekte Khawarij adalah sekelompok politik yang membawa nama agama dalam sebuah pemerintahan. bagi Pendapat ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya, sebab keberadaan Khawarij pada awalnya tidak berkaitan dengan masalah agama, apalagi teks keagamaan. Setelah terdapat ketegangan politik antara Ali dengan Mu’awiyyah, secara instan kelompok ini muncul di permukaan. Dengan kata lain, kemunculan mereka berangkat dari realitas politik, bukan dari teks keagamaan.

B.     Pemikiran Khawarij
1.      Konsep Kepemimpinan Khawarij
Sebagai kelompok sparatis, Khawarij memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi-ideologi yang berkembang saat itu, baik dalam kepemimpinan, pelaku dosa besar, dan pemahaman terhadap teks al-Quran. Kelompok ini melawan konsep yang telah pakem tentang kepemimpinan. Menurutnya, kepemimpinan dalam Islam tidak harus dari suku Quraish, bahkan orang diluar suku Quraish juga memiliki hak untuk menjadi pemimpin. Selama seseorang berpredikat muslim yang adil, memiliki integritas, baik ilmu dan agamanya, dan mampu melaksanakan tanggung jawab sebagai pemimpin, berhak menjadi pemimpin. Bagi pemimpin Negara yang mencedarai jabatannya, kelompok ini menganggapnya telah keluar dari Islam dan harus digulingkan atas nama reformasi.[12] Khawarij seolah ingin melepas diri dari belenggu hegemoni kekuasaan Quraish yang sejak lama duduk dalam tampuk kekuasaan, dari masa ke khalifahan Abu Bakar sampai pada akhir abad ke 4 H, dimana pada waktu itu al-Mawardi hidup.[13] Dari sisi inilah Khawarij terlihat lebih demokratis dari kelompok Islam yang berkembang di zamannya yang mengharuskan pemimpin dari kalangan Quraish—terlepas dari kedok tendensi pribadi mereka yang anti-pemerintah saat itu.
Khawarij, seperti sekte-sekte Islam yang muncul belakangan, menganggap perlu terhadap kepemimpinan dalam Islam. Hanya saja kepemimpinan dalam pandangan Khawarij adalah merupakan tangan panjang Tuhan yang harus menerapkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam sebuah negara. Mereka menolak segala tindakan yang bersumber hasil keputusan manusia.[14] Atas dasar ini khawarij keluar dari barisan Ali dalam pereng Siffin dan menghukumi Ali kafir karena telah keluar dari ajaran agama
2.      Konsep Pelaku Dosa Besar (al-Kaba>i>r) dan Pengkafiran (Takfi>r)
Iman adalah hal mendasar dalam agama Islam yang secara definitif diartikan dengan sebuah pengakuan seseorang terhadap Allah sebagai Tuhan secara verbal yang disertai oleh kemantapan hati serta melaksanakan perintahnya sebagai konsekuensi dari pengakuan tersebut. Iman adalah dasar dari segala bentuk perilaku seorang muslim dalam menjalankan agama. Bahkan sebagian pendapat mengatakan perbuatan baik yang tidak didasari oleh iman kepada Allah adalah sia-sia. Begitu juga sebaliknya, beriman kepada Allah namun tidak melaksanakan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari iman tersebut adalah Fasiq, bahkan kafir dalam pandangan Khawarij.
Dalam pandangan Khawarij, amal perbuatan manusia merupakan bagian dari iman. Dari pandangan ini dapat dipahami juga bahwa seorang muslim yang meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan Allah, maka ia telah meninggalkan imannya.[15] Iman—masih dalam pandangan Khawarij—tidak bisa dipisahkan dari perbuatan seorang muslim. Seseorang dalam keadaan mukmin ketika tindakannya tidak dipengaruhi oleh perbuatan kufur, munafik, dan perbuatan jahiliyah. Begitu juga seorang muslim, ia bisa jadi dikatakan kafir dan mushrik saat dalam dirinya tidak ada lagi iman yang tercermin dalam perbuatannya.[16]    
Pendapat Khawarij tentang eksistensi iman ini memeroleh beberapa kritik dari sekte-sekte Islam setelahnya. Seperti sekte Murji’ah yang menegasikan iman terhadap keislaman seseorang, sebab iman menurutnya ada dihati, dan tidak memengaruhi terhadap perbuatan dosa seorang muslim. Sementara sekte yang lebih moderat, yang mampu mengombinasikan beberapa pendapat sebelumnya dengan baik adalah sekte yang dipelopori oleh al-Ash’ari> (w. 330 H.).[17]  
Episteme Khawarij di atas menjadi tolak ukur untuk mengkafirkan paham keagamaan di luar kelompoknya. Setidaknya ada dua alasan pengkafiran tersebut. Pertama, karena Khawarij menganggap seorang muslim menjadi kafir apabila telah melakukan dosa besar, atau dosa kecil yang berturut-turut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, pemahamannya terhadap ayat yang berbunyi:Waman Lam Yahkum Bima> Anzala Alla>h Faula>ika Hum Al-Kafiru>n (barang siapa yang tidak melaksanakan hukum Allah, maka kafir). Khawarij berpendapat setiap kelompok yang berbeda dengannya telah menyalahi hukum Allah, mereka yakin kelompoknya adalah kelompok yang paling benar.[18]

3.      Konsepsi Khawarij Menyikapi Teks keagamaan
Al-Qur’an dalam menyampaikan pesan ketuhanan kepada manusia tidak jarang menggunakan gaya bahasa general-metaforis. Untuk memahaminya, mufassir membutuhkan beberapa perangkat kebahasaan untuk mengungkap rahasia di dalamnya. Di samping itu, Teks al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari ruang waktu dan konteks sosialnya yang melingkupinya (Asba>b al-Nuzu>l). Oleh karenanya, Perbedaan para penafsir al-Qur’an dari abad ke 2 H sampai hari ini dalam melakukan interpretasi terhadap al-Qur’an adalah merupakan bukti konkret bahwa al-Qur’an memiliki multi penafsiran yang tetap aktual dalam setiap zaman (S}a>lih Likulli Maka>n Wa Zama>n).
Penafsiran dengan mempertimbangkan teks kebahasaan dan konteks sosial ini tidak diterima oleh kelompok Khawarij. Al-Qur’an dan sunnah harus dipahami sebagaimana adanya, tanpa mempertimbangkan makna dibalik sebuah teks (magza>). Sehingga yang berkuasa dalam menyelesaikan problem-problem sosial adalah teks. Tafsir pun tercerabut dari persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Menurutnya, menafsirkan teks al-Qur’an dan hadis dianggap sebagai keinginan hawa nafsu yang tidak seharusnya dilakukan.[19]

C.    Kontinuitas dan Diskontinuitas; Wacana Neo-Khawarij
Secara struktural, memang tidak ada hubungannya antara Khawarij dengan gerakan Islam puritan yang telah menjamur di dunia Islam. Gerakan Islam puritan bahkan menolak dirinya dianggap sebagai propaganda dari golongan Khawarij. Islam puritan, seperti Wahhabi dan kelompok puritan lain, lebih suka dirinya disebut sebagai kelompok salafi yang pernah ada pada masa lalu Islam. Semangat ingin mengembalikan era keemasaan seperti pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi yang shalih (Salafuna> Al-Sa>lih) dengan segenap sitem politik yang berlaku pada saat itu menjadi orientasi hampir setiap gerakan Islam puritan.[20] Sehingga terkadang isu-isu yang diusung, seperti formalisasi syari’at Islam dan penegakan sistem khilafah Islamiyah dalam pemerintahan, terlalu berlebihan dan tidak realistis.
Gerakan Wahhabi, aliran puritan yang menjadi sample dalam kajian ini, adalah gerakan yang didirikan oleh seorang fanatik abad ke 18, yaitu Muhammad bin Abd al-Wahab (w. 1792 M.). Gagasan utama Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyipang dari jalan Islam yang benar, dan hanya kembali kepada agama yang benar akan diterima oleh Allah. Semangat puritan inilah yang menjadi dasar ajaran wahhabi untuk membersihkan Islam dari faktor-faktor di luar Islam.
Pada masa abd al-Wahhab hidup, modernitas telah merebah ke dunia Islam yang memperkenalkan relativitas dan subjektivitas semua pengetahuan manusia. Pada puncaknya, modernitas menambah kompleksitas tatanan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat tradisional berjuang dan berusaha untuk mengimbangi menjadi masyarakat modern dan berkembang.[21] Pada tataran ini, masyarakat Islam memiliki respon berbeda-beda terhadap modernitas, sebagian kelompok menyelaraskan ajaran Islam dengan modernitas sebagaimana yang telah dilakukan oleh Muhammad Abduh (w. 1905 M.), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M.) dan para tokoh pembaharuan abad ke-19. Sebagian yang lain merespon dengan keras menolak modernitas sebagaimana Abd al-Wahhab.[22]
Menurut Wahhabi, masyarakat muslim harus kembali kepada ajaran fundamental Islam dengan mengimplementasikan perintah dan sunnah Nabi secara literal, dan dengan secara ketat menaati ritual yang benar. Wahhabi menyikapi teks-teks keagamaan sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model yang sebenarnya dari Negara kota madinah yang telah dibangun oleh Nabi. Jika masyarakat muslim mengembalikan segala persoalan kepada al-Qur’an, umat Islam tidak akan mengalami keterbelakangan kolektif.[23]
Disamping sikap literalis, Wahhabi cenderung menolak praktik mazhab hukum yang sudah lama terbangun dan berlangsung dalam dunia Islam. Mereka menganggap bahwa menerima keberagaman pendapat yang sama-sama dianggap sebagai pendapat yang legal dan benar merupakan awal dari perpecahan umat Islam. Tidak heran jika kaum Wahhabi mengumbar ungkapan teroris kepada para ahli hukum terkemuka yang dinilainya bid’ah. Selain itu, kaum Wahhabi menganggap bid’ah merupakan bentuk perbuatan apapun yang tidak pernah ada pada masa rasul, terlebih sesuatu yang datang dari barat walaupun pada hakikatnya baik dan tidak menyalahi prinsip agama.[24] Hubungan harmonis antara agama dan negara, terutama terbentuknya lembaga atau institusi yang berlabelkan Islam menjadi agenda besar dari gerakan wahhabi.[25]  
Ada beberapa karakter yang dapat terlihat dari ciri-ciri gerakan wahhabi, atau kelompok puritan lain. Pertama, kecenderungan melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks keagamaan sekaligus penolakan tafsir kontekstual atas teks agama. Sebab mendialogkan teks dengan konteks sosial dianggap akan mereduksi kesucian agama. Kedua, menolak pluralism dan relativisme, karena dianggap sebagai pemahaman yang telah mendistorsi agama. Ketiga, monopoli kebenaran atas teks agama. Islam puritan menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas kebenaran, dan kelompok di luarnya dianggap telah melakukan penyelewengan dalam agama. Keempat, mereka membangun semua ajarannya dengan penuh sikap fanatisme, eksklusifisme, intoleran, dan militanisme. Bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi golongannya menjadi ciri khas dari aksi dan tindakan mereka.[26]      
            Gerekan Islam puritan lambat laun semakin membuat getir masyarakat Islam secara umum. Nama-nama seperti Shalih Saraya (diekskusi pada 1975), Syukri Musthafa (diekskusi pada 1978), dan Muhammad Abd Salam Faraj (diekskusi pada 1982) menjadi momok bagi masyarakat Mesir saat mereka mengumbar teror terhadap perilaku yang dianggap bid’ah. Anwar Sadad (w. 1981) adalah salah satu fakta konkret korban pembunuhan yang digencarkan oleh Islam puritan ini. Ia diduga telah melakukan bid’ah dalam agama dan direkomendasikan untuk dibunuh. Faraj yang menjadi otak dari pembunuhan Anwar mempropagandakan operasi militer secara inten terhadap penguasa seluruh Negara muslim yang melakukan praktik bid’ah di dalam bukunya yang berjudul  al-Faridah al-Ghaybah” .[27]
            Wacana neo-Khawarij yang secara implisit ditujukan kepada Islam puritan menjadi bahan perbincangan para tokoh agama sejak tragedi 11 september 2001. Walaupun sacara struktural tidak ada pernyataan yang ekplisit atau matarantai yang jelas antara Islam puritan dan Khawarij, kemiripan praktik dan tindakan kedua gerakan tersebut menjadi isu yang dikait-kaitkan oleh beberapa kalangan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa pemikiran atau gerakan sekte-sekte Islam merupakan didikan zamannya. Mereka lahir dalam segala aspek yang melingkupinya, sosio-historis, politik, dan budaya yang relatif berubah sesuai dengan akslerasi kehidupan manusia. Khawarij telah tercerabut dari akar sejarah, namun pemikiran dan epistemnya tetap hidup menginspirasi zaman berikutnya. Dan akhirnya, hadir kembali dengan bentuk dan nama yang berdeda. Wallahu A’lam.










DAFTAR RUJUKAN



Abd al-Wahhab, Muhammad ibn. Risa>lah Al-Tauhi>d. t.t.: Dar Ihya>’ Al-Tura>ts, t.th.

Abou Fadl, Khaled. Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Musthafa. Jakarta: Serambi, 2006.

Asy’ari (Al). al-Iba>nah ‘an Ushu>l Al-Diya>nah. Kairo: Dar al-Anshar, 1977

Bagdadi (Al), Abu Manshur Abdul Qahir Muhammad. Al-Farqu Baina Al-Firaq Wa Baya>n Al-Firqah Al-Na>jiyah Minhum; ‘Aqa>id Al-Firaq Al-Isla>Miyyah Wa Ara>’ Kaba>i>r A’lamiha. Kairo: Maktabah Ibnu Sina, t.th.

Bin Ali ‘Iwaji, Ghalib. Firqah Mu’a>s}irah Tansibu Ila> Al-Isla>m Wa Baya>n Mauqif Al-Isla>m Minha>. Jeddah: Maktabah Al-‘Ashriyyah Al-Dahabiyyah, 2001.

Hifdi (Al), Abdul Latif Bin Abdul Qadir. Ta’tsi>r Al-Mu’tazilah Fi> Al-Khawa>rij Wa Al-Shi>’ah. Jeddah: Dar Al-Andalus, 2000.

Ibnu Khaldun, Abdurrahman. Tari>kh Ibn Khaldun. Beirut: Dar Al-Fikr, 2001.

‘Iwaji (Al), Ghalib Bin Ali. “Al-Kha>warij Tari>khuhum Wa Ara>uhum Al-I’tiqa>diyyah Wa Mauqif Al-Isla>m Minha>”. Tesis—King Abdul Aziz University, t.th.

Kasdi, Abdurrahman. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah”, Tashwirul Afkar, Vol. 12 ,2002.

K. Hitti, Phlilip. History Of The Arab, Terj. Jakarta: serambi, 2006.

Magribi (Al), Ali Abdul Fattah. Al-Firaq Al-Kala>miyyah Al-Isla>miyyah; Madkhal Wa Dira>sah. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.

Mawardi (Al), Abu Hasan Muhammad Bin Habib. Al-Ahka>m Al-Sultha>niyyah Wa Al-Wila>ya>t Al-Di>niyyat. Kuait: Maktabah Dar Ibn Qutaibah, 1989.

Mulyati, Sri. “Pertarungan (Pemikiran) NU Dan Kelompok Islam Lain”, Tashwirl Afkar, Vol. 21, 2007.

Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-press, 2002.

Sa’adah, Abu. ”Al-Khawa>rij Fi> Mi>za>n Fikr Al-Isla>mi”. Disertasi—al-Hilwan University, Kairo, 1998.

Syihristany (Al). Al-Milal Wa Al-Nihal. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. 1992.

Taimy (Al), Abdullah. Waqafa>t Ma’a Al-Khawa>rij Al-Judud. t.t.: t.p., 2009.

Zahra, Abu. Tari>kh Al-Mada>hib Al-Isla>Miyyah. Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1997.

Baso, Ahmad. NU STUDIES; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.









[1] Gha>lib bin A<li> ‘Iwaji>, Firqah Mu’a>s}irah Tansi>bu Ila> Al-Isla>m Wa Baya>n Mauqi>f Al-Isla>m Minha> (Jeddah: Maktabah Al-‘Ashriyyah Al-Dahabiyyah, 2001), jilid, 1., 226.
[2] Apa yang terjadi dalam perundingan bersejarah ini sulit dipastikan. Berbagai versi muncul dalam berbagai sumber. Riwayat yang populer adalah kedua pihak, Abu Musa dan Amr Bin Ash, memecat kedua pemimpin mereka. Tapi, setelah Abu Musa mengumumkannya, ‘Amr menghianatinya dan menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Pendapat ini yang berkembang pada pemerintahan Abbashiyah, musuh Umawiyah. Philip K. Hitti, mengutip pendapat Pere Lammens, berpendapat bahwa yang mungkin terjadi dalam perundingan tersebut adalah kedua arbitor memecat kedua pemimpin mereka, sehingga Ali menjadi kelompok yang kalah. Sebab Mu’awiyah tidak memiliki jabatan apa-apa untuk diletakkan. Berdasarkan keputusan arbitor, Ali dilengserkan dari jabatan ke khalifahan sebenarnya, sementara Mu’awiyah dilengserkan dari jabatan fiktif yang ia klaim dan belum berani ia kemukakan. Lih. Phlilip K. Hitti, History Of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Diyadi (Jakarta: serambi, 2006), 227.
[3] Abu> Mans}u>r Abdul Qa>hir Muh}ammad Al-Bagda>di>, Al-Farq Baina Al-Firaq Wa Baya>n Al-Firqah Al-Na>jiyah Minhum; ‘Aqa>id Al-Firaq Al-Isla>miyyah Wa Ara>’ Kaba>i>r A’la>miha (Kairo: Maktabah Ibnu Sina, t.th.), 73.
[4] Al-Shihrista>ni>, Al-Milal Wa Al-Nih}al (Beiru>t: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1992), 107.
[5] Abdullah Al-Taimi>, Waqafa>t Ma’a Al-Khawa>rij Al-Judud (t.t. t.p. 2009), 12.
[6] Abdul Latif Bin Abdul Qadir Al-Hifdi, Ta’tsi>r Al-Mu’tazilah Fi> Al-Khawa>rij Wa Al-Shi>’ah (Jeddah: Dar Al-Andalus), 324.
[7] Untuk lebih jelas mengenai penjelasan gerakan imajinasi sosial dan soft politic yang dilakukan oleh kalangan ahl al-Sunnah, lihat Ahmad Baso, NU STUDIES; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 69.
[8] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-press, 2002), 13.
[9] Phlilip K. Hitti, History Of The Arab…….., 227.
[10] Ibid, 227.
[11]Abdurrah}man Ibn Khaldu>n, Ta>ri>kh Ibn Khaldu>n (Beiru>t: Da>r Al-Fikr, 2001), juz II., 645. Namun dalam pandangan Hitty, motif Abdurrahman bin Muljam karena ingin membalas dendam atas kematian keluarga seorang wanita, temannya, yang terbunuh di Nahrawan. Lih. Phlilip K. Hitti, History Of The Arab….., 227.
[12] Abu> Zahra, Tari>kh Al-Mada>hib Al-Isla>miyyah (Kairo: Da>r Al-Fikr Al-Arabi, 1997), 63.
[13] Abu Hasan Muhammad Bin Habib Al-Mawardi, Al-Ahka>m Al-Sultha>niyyah Wa Al-Wila>ya>t Al-Di>niyyat (Kuwait: Maktabah Da>r Ibn Qutaibah, 1989), 5.
[14] ‘A<li> Abd al-Fatta>h Al-Magribi>, Al-Firaq Al-Kala>miyyah Al-Isla>miyyah; Madkhal Wa Dira>sah (Kairo: Maktabah Wahbah, 95), 168.
[15] Abu Sa’adah, ”Al-Khawa>rij Fi> Mi>za>n Fikr Al-Isla>mi” (Disertasi—al-Hilwan University, Kairo, 1998), 150.
[16] Ibid., 151.
[17] Nama lengkapnya adalah ‘Ali bi Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Musa Al-Asy’ari. Nama Asy’ari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari Qahthan yang kemudian menjadi nama suku di Yaman. Lih. Al-asy’ari>, al-Iba>nah ‘an Ushu>l Al-Diya>nah (kairo: dar al-Anshar, 1977),11.
[18] Abu Sa’adah, ”Al-Khawa>rij Fi> Mi>za>n Fikr Al-Isla>mi>”…..,  166.
[19] Ghalib Bin Ali Al-‘Iwaji, “Al-Kha>warij Tari>khuhum Wa Ara>uhum Al-I’tiqa>diyyah Wa Mauqif Al-Isla>m Minha>” (Tesis—King Abdul Aziz University, t.th.), 234.
[20] Khaled Abou Fadl, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan, terj. Helmi Musthafa (Jakarta: Serambi, 2006), 94.
[21] Ibid, 62.
[22] Sri Mulyati, “Pertarungan (Pemikiran) NU Dan Kelompok Islam Lain”, Tashwirl Afkar, Vol. 21 (2007), 15.
[23] Muhammad bin Abdul Wahhab, Risa>lah Al-Tauhi>d (t.t.: Dar Ihya’ Al-Turats, th.th.), 62.
[24] Khaled Abou Fadl, Selamatkan Islam Dari Muslim Puritan…., 67.
[25] Abdurrahman Kasdi, “Fundamentalisme Islam Timur Tengah”, Tashwirul Afkar, Vol. 12 (2002), 23.
[26] Ibid, 21.
[27] Ibid, 22.

0 komentar:

Posting Komentar