Jumat, 12 September 2014

ASWAJA DAN PRINSIP-PRINSIP KENEGARAAN DALAM PERSPEKTIF KONTEMPORER

       A.     Latar Belakang
            Pada masa klasik dan pertengahan belum pernah terjadi perdebatan tantang, apakah “umat Islam” harus melakukan pengintegrasian atau pemisahan antara agama dan Negara? Atau apakah Islam itu punya konsep sistem kenegaraan atau tidak? Hal ini karena dalam sejarahnya sejak zaman Nabi sampai jatuhnya kesultanan Turki 1924, Islam sudah terintegrasi dalam Negara.
            Sebagian besar tokoh dan Gerakan Islam berpendapat, bahwa islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara. Islam menurut mereka telah mengatur prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip dasar itu adalah keadilan, permusyawaratan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.
Seperti diketahui sepanjang sejarah Aswaja didukung oleh mayoritas umat Islam. Ia diakui sebagai ideology berbagai kelompok – baik besar maupun kecil – diberbagai penjuru dunia Islam. Setiap periodisasi sejarah menampilkan Sunnisme dengan dinamikanya yang kahas. Setiap kawasan dalam dunia Islam juga memiliki keunikan-keunikan tertentu dalam implementasi Sunnism. Bahkan sekelompok ummat menampilkan karakter berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Sunnism adalah sebuah ideology atau paham keagamaan yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya bisa dilihat dari keberagaman masing-masing kelompok pendukunya dalam mengaktualisasikan ideology ini.
B.      Memahami Aswaja
Mengenai pengertian Aswaja disini adalah sebuah kelompok atau gerakan dalam sejarah, yang bisa dipahami sebagai sebuah doktrin yang telah dirumuskan (dari aspek teologis), sehingga kemudian pengertian ini berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan yang dilawankan dengan Mu’tazilah atau Syi’ah. Kalau kita telaah sejarah bahwa kemunculan  Aswaja merupakan suatu reaksi terhadap Mu’tazilah yang dianggap ‘sesat’ karena telah mendewakan akal dari pada wahyu.  Lalu secara spesifik, Aswaja dirumuskan menjadi sebagai mazhab yang dalam berakidah mengikuti salah satu imam Al-Asya’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali) dan dalam bidang tasawuf mengikuti imam al-Junaidi atau al-Ghazali.
Dalam era modern seperti sekang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, serta perubahan social begitu cepat dan problem-problem social pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hokum yang telah dirumuskan Aswaja yang bersifat qauli/aqwali tidak selamanya mampu menjawab problema dan tantangan zaman tersebut. Kini saatnya muali dikembangkan pemikiran-pemikiran teologis yang menyentuh pada persoalan-persoalan praktis pada masyarakat dan kepentingan umat. Islam mendeklerasikan kesatuan jenis manusia sejak 14 abad silam. Sehingga Islam menjamin pertumbuhan wujud individu, menghapus struktur etnis, kelas-kelas dan suku  disamping menghapus kecenderungan manusia yang muncul dari berbagai factor diskriminasi.
Kemerdekaan dan kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Islam, karena merupakan fitrah Allah SWT yang lazim. Yaitu suatu kebebasan dan kemerdekaan yang tidak melukai prinsip-prinsip social umum dan tidak membayakan pihak-pihak lain.
Keseimbangan antara kebutuhan institusi pemerintah yang kuat disatu pihak dan partisipasi masyarakat secara penuh dipihak lain menyebabkan kemacetan teori politik klasik dari kaum sunni. Mulanya sunni berupaya menemukan sintesis antara teori politik khawarij; kebebasan penuh warga masyarakat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan teori politik syi’ah; ketundukan mutlak kepada pemegang kekuasaan. Namun kenyataannya adalah secara historis bahwa penyebab kemacetan teori politik ini terjadi atau ditimbulkan oleh tekanan yang lebih kuat kepada kekuasaan pemerintah.
C.     Teori Kenegaraan; menurut Al-Qur’an
Relevansi teori kenegaraan Islam; sebuah pendekatan objektif yang dilakukan dengan melihat sumber-sumber tekstual (Al-Qur’an dan As-Sunnah) secara historis. Al-Qur’an memberikan suatu cara tertentu semisal proses pelaksanaan Syura (permusyawaratan) sebagai wacana penyalur aspirasi individu warga baik mikro ataupun makro yang merupakan bagian pokok politik ditentukan dan diinginkan oleh Al-Qur’an. Syura atau musyawarah adalah fondasi bermasyarakat yang member kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Demikian juga hak-hak individu juga ditegakkan, Rasulullah SAW bersabda; tiada ketundukan kepada makluk (termasuk yang paling berkuasa sekalipun) dalam hal yang menentang (ketentuan) Allah SWT. Dalam suatu ayat al-Qur’an yang artinya; tundukkanlah kalian kepada Allah SWT, utusan-Nya dan pemegang kekuasaan (pemerintah) diantara kalian.
Namun demikian, suatu ketundukan terhadap kekuasaan pemerintah mensyaratkan beberapa ketentuan diantaranya ; a) tindakan yang adil, b) mengutamakan kemaslahatan ummat/umum dan c) pemenuhan batas minimal kebutuhan hidup. Bahkan lebih lanjut di dalam al-Qur’an kita diperintahkan untuk; berlaku adil, ketentuan akan keharusan mencari seorang hakim di dalam sengketa, keadilan dalam konteks moral sebagai sikap hidup akan kelayakan dalam memegang jabatan, kemaslahatan umum secara operasional harus didasarkan kepada kepentingan orang banyak (qawaid al-fiqh) semisal perintah menyelenggarakan jihad yang direalisasikan dalam wujud penyediaan makanan, penyediaan pakaian dari aurat, penyediaan papan, obat-obatan dan biaya perawatan baik muslim dan non-muslim yang hidup damai dalam masyarakat yang sama.
Akan tetapi ketaatan, keadilan dan kemaslahatan umum tidak hanya menjadi unsur semata tanpa diimbangi dengan yang lain, masih banyak unsur lain yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah pengembangan model pemerintahan. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan tersebut antara lain;
a.   Pandangan institusi pemerintah
Merupakan unsure mutlak dari sebuah model ideal yang bisa dikembangkan baik berupa bentuk kelompok inti atau permanen dan atau pengaturan kelompok inti permanen dengan lembag-lembaga diluar. Institusi ini sebagai penentu keputusan pemerintah yang tanpa bisa mungkin dibantah lagi (hukum formal)
b.    Peran hukum formal
Sebagai sebuah pemerintahan model ideologis yang tidak hanya membatasi perkembangan hukum dan  terpaku pada pola yang sesuai dengan kebutuhan ideologi.
c.   Batasan atas jangkaun hukum
Pengembangan hukum itu akan berarti pembatasan hak warga untuk melakukan perubahan social yang diinginkannya melalui cara-cara yang demokratis. Sehingga akan sangat menentukan orientasi kehidupan masyarakat tersebut.
d.   Kondisi masyarakat
Unsur utama lainnya adalah bentuk masyarakat yang terbuka atau tertutup dalam struktur yang dilapiskan (stratified) secara segregatif melalui pelapisan berdasarkan agama, asal-usul etnis, bahasa, system budaya maupun keyakinan politik.
e.   Pola kebudayaan masyarakat
Hal ini perlu dipertimbangkan untuk mengetahui pola masyarakat yang berkembang apakah masyarakat monolitik atau masyarakat pluralistic secara budaya.
D.     Alternatif Islam tentang Teori Kenegaraan
Dalam perspektif kontemporer, prinsip rekonstruksi teori kenegaraan ini akan cenderung memunculkan sikap menolak atau menerima dua pandangan yang saling berlawanan. Satu pihak menggugat kepada masyarakat sekuler dan semi sekuler (masyarakat dewasa ini). Sehingga konsep rekonstruksi kenegaraan ini merupakan upaya yang kurang menguntungkan karena adanya solidaritas massa yang cenderung menjadi penghambat pengembangan pluralitas budaya. Muncullah kesenjangan budaya (cultural lag) sebagai penolakan seriap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Akibatnya kadar kontemplasi spiritual muslim menjadi sangat menipis dikarenakan oleh kebutuhan pencaria pemecahan praktis (hulul alamiyah, impelementable solution). 
Sehingga Islam sebagai alternative untuk penyelesaian krisis umum kemanusiaan dan penolakan fungsi komplementer sebenarnya hanya awal dari kesia-siaan upaya sekterian untuk kepentingan Islam saja dalam rekonstruksi sebuah teori kenegaraan. Dengan tanpa mengaitkan teori kenegaraan tertentu, Islam menawarkan beberapa hal untuk pemecahan masalah-masalah umum kemanusiaan yang dapat diperhitungkan dari perspektif kontemporer, sebagai berikut;
1.   Sistem pemerintahan universal
Memberikan kedudukan sama dimuka hokum kepada semua warga Negara tanpa melihat asal usul, agama, etnis, bahasa, budaya maupun keyakinan politik atau jenis kelaminnya
2.   Sistem perwakilan
Berdasarkan ketentuan satu orang satu suara (one man one vote) yang akan menjamin kedaulatan rakyat sebenarnya
3.   Hokum nasional
Berlaku untuk semua warga yang diramu dari unsure-unsur hokum agama yang diterima oleh semua pihak disamping dari sumber-sumber lain.
4.   Jaminan penuh atau kebebasan
Kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan menguasai hak milik.
5.   Pembagian Tanggungjawab
Tiga jenis lembaga Negara; Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang bertugas pada masing-masing bidang kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya. 
6.   Kebebasan agama
Kebebasan mengembangkan agama dan menyebarkan ajaran spiritual tanpa pembatasan apapun selama tidak menjurus kepada kriminalitas
7.   Kebebasan akan kegiatan ilmiah
Bebas melakukan kegiatan ilmiah dalam bentuk apapun, atas karya-karya yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan itu dari tindakan sepihak oleh semua otoritas termasuk otoritas keagamaan diluar jalur pengadilan.
E.     Penutup
Semua bentuk pemecahan yang ditawarkan diatas merupakan titik tolak bagi sebuah pemerintahan yang memiliki keabsahan dalam perspektif kontemporer. Pada beberapa butir diatas dapat ditambahkan; keadilan ekonomi, interdependensi kaum du’afa’, otonomi moral atas politik dan sebagainya. Semua ini harus dioperasionalkan dengan melalui alienasi mendasar diantara warga masyarakatnya yang akan melahirkan labilitas inheren dalam kehidupan bangsa, dan karenanya perlu ditopang dengan penggunaan dan atau kekuasaan. Jika hal ini harus menopang sebuah teori kenegaraan, maka akan sia-sialah semua upaya itu secara keseluruhan. Karena pada dasarnya Islam adalah konstruk moral yang berpijak pada persepsi nasional dan himbauan spiritual bukan pada sistem masyarakat yang semata-mata bertumpu pada kekuatan politik.
REFERENSI
Wahid, Abd dkk 2011; Militansi Aswaja dan Dinamika Pemikiran Islam, Aswaja Center Unisma; (3-8 Mei) I. Visipress Offset. Malang
Jamaluddin Burhan 2011: Particulari Sunnism Versi Hasyim Asy’ari Tentang Ahl As-Sunnah Wa Al-Jamaa’ah; in Islamica Jurnal Studi Keislaman vol. 5, No. 2 (hal. 78-82 Maret) Pasca IAIN Sunan Ampel
FARIHIN
Penulis adalah Pembina IPNU MA Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo

0 komentar:

Posting Komentar