|
KH. Wahab Hasbullah |
|
Prolog
Menilik sekilas tentang
sejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), selain tokoh fundamental K.H.
Hasyim Asy’ari dan K.H.
A.Wahid Hasyim juga dikenal K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang berperan penting
dalam proses berdiri sampai berkembangnya NU. Jika sosok K.H. A.Wahid Hasyim
dapat dikategorikan sebagai tokoh dan teladan kaum muda, maka K.H. Wahab Hasbullah
dapat dikatakan sebagai sosok kaum tua dari sederet kiai dalam organisasi
tersebut. Beliau menjadi kiai yang paling lama berkiprah di pentas perpolitikan
nasional.
Hal ini disebabkan karena ia berkiprah tanpa henti mengikuti tiga
zaman, yaitu masa pergerakan sampai merebut kemerdekaan, masa kepemimpinan
Soekarno dan masa kepemimpinan Soeharto. Sosok beliau dikenal sebagai seorang
pekerja keras, gesit dan tekun. Walaupun tubuhnya kecil dan sebenarnya tidak
layak disebut sebagai pendekar, namun ulama khos Kyai Kholil Bangkalan Madura,
menyebutnya semenjak muda sebagai “macan”.
Hal tersebut dibuktikan sebagai
sosol kiai yang tidak hanya berani dengan tangan kosong, tapi juga berani berkelahi lewat jalur politik. Beliaulah yang
mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Kemudian beliau
mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkarm Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut
Tujjar yang kesemuanya itu menjadi embrio berdirinya organisasi NU. Bahkan
dalam urusan mistik, Kiai Wahab Hasbullah mempunyai wirid tersendiri yang bukan
hanya cukup disegani, melainkan juga banyak dipercayai oleh para santri dalam
memudahkan segala urusan dunianya.
Kiai Wahab Hasbullah
adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir moderat, pragmatis, dan terbuka. Ia
bersikap sangat kontekstual dalam memandang hukum-hukum fikih sehingga sering
mendapat peringatan dari guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa dalam
menyampaikan fikih jangan sampai kebablasan.
Dari sinilah kita perlu
menggali lebih jauh tentang sosok dan kiprah K.H. Wahab Hasbullah. Dari
berbagai referensi yang dapat penulis temukan dalam menyusun makalah ini,
semoga dapat membawa manfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin
menjadikan beliau sebagai teladan.
BIOGRAFI
KIAI WAHAB HASBULLAH
Kelahiran
dan Masa Kanak-Kanak
Kiai Abdul Wahab
Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai Latifah, pada Maret 1888
di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab Hasbullah kecil banyak menghabiskan
waktunya untuk bermain dan bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu.
Semenjak kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala
permainan.
Silsilah
Keturunan
K.H. Wahab Hasbullah
berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah K.H.
Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichan.
Pendidikan
Masa pendidikan K.H.
Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok
pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali
pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan
pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada
tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti
kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan
tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan
berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya
sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali
dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah
membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil
dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang
paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab
Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al
Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits,
dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras
untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun
dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal
pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun,
Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu
pesantren ke pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang
pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura
dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah
asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus di Pesantren
Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama
4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat
dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai
dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).
Menikah
dan Membina Rumah Tangga
Pada tahun 1914, Abdul
Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia
tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini
lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian
dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga
ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua
menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah
menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun
pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra,
istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun
pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya
ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah
karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau
menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putrid Kiai Sa’id,
seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya
bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.
Namun lagi-lagi
pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian
Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama
Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan
keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak
besar bernama K.H. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak
orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang
menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun ia menikah
kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid
Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena
saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri
ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan belaiau yang
terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama
Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya,
artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau
mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad
Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).
Wafat
K.H. Abdul Wahab
Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul Ulama sampai akhir hayatnya.
Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah Muktamar terakhir yang diikutinya. Khutbah
al-iftitah muktamar yang lazim dilakukan oleh Rais Aam kemudian diserahkan kepada
K.H. Bisri Syansuri yang biasa membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai
Rais Aam untuk membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah meninggalkan muktamar
dalam keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita sakit mata yang
menyebabkan kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya, tepat empat
hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12 Dzulqa’idah 1391 H atau 29
Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di kediamannya, Pondok Pesantren
Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang (Masyhuri, 2008:107).
PERJUANGAN
Perjuangan K.H. Abdul
Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan pergerakan,
organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan yang
ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan
madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja dipilih Nahdlatul
Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari cita-cita murni
Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonial
Belanda.
Menurut K.H. Muhammad
Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama
kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab
Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya
untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua
untuk menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau
jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom berdaya ledak
besar.
Ketika Kiai Hasyim Asy’ari
ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei 1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim
bersama para kiai berulangkali melakukan dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima
tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan pembebasan Kiai Hasyim
Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar belakangi oleh
adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para santrinya melakukan
saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membungkukkan
badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, Raja
Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan tersebut dan fatwa beliau
disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan waktunya dihabiskan untuk
menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui perjuangan yang berat dan penuh
resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari tahanan pemerintah
militer Jepang setelah lebih dari empat bulan beliau dipenjara oleh Jepang.
Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga disini. Lalu pergilah
Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU
melalui pengadilan Jepang.
Tidak kalah pentingnya
memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini
penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang
jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul
dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang
ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau
diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari
serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.
Apa pun nama madrasah
di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan” yang
berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta
tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif berkiprah
sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan NU dan
Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala
Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur
(non-partai) karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan
yang baik antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI
didirikan di Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober
1943 dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
Sarekat Islam (SI)
adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya bersama rekan-rekannya ketika
masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan sekadar mengumpulkan
cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan gerakan ini juga ingin
memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah pengetahuannya.
Beliau juga tidak dapat
membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama
bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi
sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail
Diniyyah” (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi
ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai
Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak
serangan-serangan kaum modernis.
Selanjutnya, pada saat
pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu
membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H.
Hasyim Asy'ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon atas
proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan
beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi
sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan
Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari
perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
PEMIKIRAN
KIAI WAHAB HASBULLAH
Jika disejajarkan
dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah memiliki banyak
persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh
yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi. Abdurrahman Wahid dikenal
sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang
dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi
idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah
juga begitu kontraversial?.
Diantara beberapa hal
yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan cendekiawan
yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya
konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau
tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar
pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan
yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.
Bidang
Pendidikan
Menurut beliau pendidikan
tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus tepat pada situasi
dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti pendidikan
pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pesantren
Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren
yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok
diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah
berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:
1. Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2. Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3. Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di
Jombang, dan
4. Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di
Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).
Bidang
Keagamaan
Konsep Kiai Wahab
Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana peran Islam, lebih banyak
berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pla pergerakan ahlus
sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau
fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama,
dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal
sebagai moderatisme.
Pergerakan
Progresivitas konsep
pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam
membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal demikian disebut
sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab Hasbullah?
Tidak lain karena
organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar
atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan
itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan.
Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat
tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih
sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan
bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.
Demokrasi
Diceritakan oleh
Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan
sebagai berikut:
“Kami bertiga, Kiai
Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan
agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “sosialisme
Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu
diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU
haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik
Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah
dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap
penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan “landreform”,
pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud
melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak
milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan
keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).
Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar
demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan
antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama
sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.
WARISAN
DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Ukuran ketokohan K.H.
Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku karya ilmiahnya, karena memang
bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan sebuah karangan pun, melainkan buah
pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan dimana-mana dalam banyak
kesempatan dan peristiwa. Mungkin bagi kalangan intelektual murni, yang suka
menganalisis dari teks ke teks saja, hal ini sangat disayangkan. Setidaknya,
beliau menyempatkan diri untuk menuliskan buku panduan menkadi politisi menurut
konsep aswaja.
Namun, sebenarnya tidaklah benar seratus persen jika Kiai Wahab
Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau dikenal sebagai
kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab menyebut ijazah, macam-macam
hizib, wirid kepada seluruh warga NU da siapa saja yang memerlukan kekebalan
diri. Ia menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena
ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai
Wahab yang terkaenal dan biasa diamalkan terutama dikalangan Pesantren sampai
sekarang, dicuplik dari buku Azis Mashyuri, yaitu:
“Maulaya shalli wa sallim da’iman
abada
‘alal habibika khairil
khalqi kullihimi
Huwal habibul ladzi turja
syafa’atuhu
Likulli hauli minal
ahwali muktahimi