{Pesan Gus Dur)

"Mendirikan Negara Islam Tidak Wajib Bagi Kaum Muslimin, tapi Mendirikan Masyarakat Yang Berpegang Pada Ajaran Islam Adalah Sesuatu Yang Wajib".

Al Muhafadhotu 'Ala al Qodimi as-Sholih Wal Akhdu Bi aljadidi al- Ashlah

"(melestarikan nilai-nilai lama yang masih relevan dan megambil ilai-nilai baru yang lebih progresif)".

{Pesan Gus Dur)

"Mendirikan Negara Islam Tidak Wajib Bagi Kaum Muslimin, tapi Mendirikan Masyarakat Yang Berpegang Pada Ajaran Islam Adalah Sesuatu Yang Wajib".

Sabtu, 13 September 2014

MELACAK EMBRIO GERAKAN ISLAM PURITAN (Suatu Tinjauan Kontinuitas dan Diskontinuitas Sejarah Pemikiran Khawarij)



Oleh: Ahmad Fawaid
LAKPESDAM MWC NU Paiton

Prawacana
Selama dua puluh tiga tahun, dengan segala kharisma dan kehebatan yang dimilikinya, nabi Muhammad mampu meredam dan merubah kefanatikan kabilah menjadi kefanatikan agama. Awalnya, masyarakat Arab bangga dengan nama suku yang disandangnya, namun mereka merasa malu menggunakan gelar kesukuannya setelah Nabi merubah pandangan dunia (wordview) dengan nuansa persatuan Islam (Ummah Wahidah). Seperti gelar kesukuan al-Tamimi, al-‘Adi, al-Zahri, di masa Nabi mereka merasa malu menggukannya dan bangga dengan sebutan al-Siddiq, al-Faruq, al-Murtadla.

Jumat, 12 September 2014

ASWAJA DAN PRINSIP-PRINSIP KENEGARAAN DALAM PERSPEKTIF KONTEMPORER

       A.     Latar Belakang
            Pada masa klasik dan pertengahan belum pernah terjadi perdebatan tantang, apakah “umat Islam” harus melakukan pengintegrasian atau pemisahan antara agama dan Negara? Atau apakah Islam itu punya konsep sistem kenegaraan atau tidak? Hal ini karena dalam sejarahnya sejak zaman Nabi sampai jatuhnya kesultanan Turki 1924, Islam sudah terintegrasi dalam Negara.
            Sebagian besar tokoh dan Gerakan Islam berpendapat, bahwa islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara. Islam menurut mereka telah mengatur prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip dasar itu adalah keadilan, permusyawaratan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.
Seperti diketahui sepanjang sejarah Aswaja didukung oleh mayoritas umat Islam. Ia diakui sebagai ideology berbagai kelompok – baik besar maupun kecil – diberbagai penjuru dunia Islam. Setiap periodisasi sejarah menampilkan Sunnisme dengan dinamikanya yang kahas. Setiap kawasan dalam dunia Islam juga memiliki keunikan-keunikan tertentu dalam implementasi Sunnism. Bahkan sekelompok ummat menampilkan karakter berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Sunnism adalah sebuah ideology atau paham keagamaan yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya bisa dilihat dari keberagaman masing-masing kelompok pendukunya dalam mengaktualisasikan ideology ini.
B.      Memahami Aswaja
Mengenai pengertian Aswaja disini adalah sebuah kelompok atau gerakan dalam sejarah, yang bisa dipahami sebagai sebuah doktrin yang telah dirumuskan (dari aspek teologis), sehingga kemudian pengertian ini berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan yang dilawankan dengan Mu’tazilah atau Syi’ah. Kalau kita telaah sejarah bahwa kemunculan  Aswaja merupakan suatu reaksi terhadap Mu’tazilah yang dianggap ‘sesat’ karena telah mendewakan akal dari pada wahyu.  Lalu secara spesifik, Aswaja dirumuskan menjadi sebagai mazhab yang dalam berakidah mengikuti salah satu imam Al-Asya’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali) dan dalam bidang tasawuf mengikuti imam al-Junaidi atau al-Ghazali.
Dalam era modern seperti sekang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, serta perubahan social begitu cepat dan problem-problem social pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hokum yang telah dirumuskan Aswaja yang bersifat qauli/aqwali tidak selamanya mampu menjawab problema dan tantangan zaman tersebut. Kini saatnya muali dikembangkan pemikiran-pemikiran teologis yang menyentuh pada persoalan-persoalan praktis pada masyarakat dan kepentingan umat. Islam mendeklerasikan kesatuan jenis manusia sejak 14 abad silam. Sehingga Islam menjamin pertumbuhan wujud individu, menghapus struktur etnis, kelas-kelas dan suku  disamping menghapus kecenderungan manusia yang muncul dari berbagai factor diskriminasi.
Kemerdekaan dan kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Islam, karena merupakan fitrah Allah SWT yang lazim. Yaitu suatu kebebasan dan kemerdekaan yang tidak melukai prinsip-prinsip social umum dan tidak membayakan pihak-pihak lain.
Keseimbangan antara kebutuhan institusi pemerintah yang kuat disatu pihak dan partisipasi masyarakat secara penuh dipihak lain menyebabkan kemacetan teori politik klasik dari kaum sunni. Mulanya sunni berupaya menemukan sintesis antara teori politik khawarij; kebebasan penuh warga masyarakat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan teori politik syi’ah; ketundukan mutlak kepada pemegang kekuasaan. Namun kenyataannya adalah secara historis bahwa penyebab kemacetan teori politik ini terjadi atau ditimbulkan oleh tekanan yang lebih kuat kepada kekuasaan pemerintah.
C.     Teori Kenegaraan; menurut Al-Qur’an
Relevansi teori kenegaraan Islam; sebuah pendekatan objektif yang dilakukan dengan melihat sumber-sumber tekstual (Al-Qur’an dan As-Sunnah) secara historis. Al-Qur’an memberikan suatu cara tertentu semisal proses pelaksanaan Syura (permusyawaratan) sebagai wacana penyalur aspirasi individu warga baik mikro ataupun makro yang merupakan bagian pokok politik ditentukan dan diinginkan oleh Al-Qur’an. Syura atau musyawarah adalah fondasi bermasyarakat yang member kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Demikian juga hak-hak individu juga ditegakkan, Rasulullah SAW bersabda; tiada ketundukan kepada makluk (termasuk yang paling berkuasa sekalipun) dalam hal yang menentang (ketentuan) Allah SWT. Dalam suatu ayat al-Qur’an yang artinya; tundukkanlah kalian kepada Allah SWT, utusan-Nya dan pemegang kekuasaan (pemerintah) diantara kalian.
Namun demikian, suatu ketundukan terhadap kekuasaan pemerintah mensyaratkan beberapa ketentuan diantaranya ; a) tindakan yang adil, b) mengutamakan kemaslahatan ummat/umum dan c) pemenuhan batas minimal kebutuhan hidup. Bahkan lebih lanjut di dalam al-Qur’an kita diperintahkan untuk; berlaku adil, ketentuan akan keharusan mencari seorang hakim di dalam sengketa, keadilan dalam konteks moral sebagai sikap hidup akan kelayakan dalam memegang jabatan, kemaslahatan umum secara operasional harus didasarkan kepada kepentingan orang banyak (qawaid al-fiqh) semisal perintah menyelenggarakan jihad yang direalisasikan dalam wujud penyediaan makanan, penyediaan pakaian dari aurat, penyediaan papan, obat-obatan dan biaya perawatan baik muslim dan non-muslim yang hidup damai dalam masyarakat yang sama.
Akan tetapi ketaatan, keadilan dan kemaslahatan umum tidak hanya menjadi unsur semata tanpa diimbangi dengan yang lain, masih banyak unsur lain yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah pengembangan model pemerintahan. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan tersebut antara lain;
a.   Pandangan institusi pemerintah
Merupakan unsure mutlak dari sebuah model ideal yang bisa dikembangkan baik berupa bentuk kelompok inti atau permanen dan atau pengaturan kelompok inti permanen dengan lembag-lembaga diluar. Institusi ini sebagai penentu keputusan pemerintah yang tanpa bisa mungkin dibantah lagi (hukum formal)
b.    Peran hukum formal
Sebagai sebuah pemerintahan model ideologis yang tidak hanya membatasi perkembangan hukum dan  terpaku pada pola yang sesuai dengan kebutuhan ideologi.
c.   Batasan atas jangkaun hukum
Pengembangan hukum itu akan berarti pembatasan hak warga untuk melakukan perubahan social yang diinginkannya melalui cara-cara yang demokratis. Sehingga akan sangat menentukan orientasi kehidupan masyarakat tersebut.
d.   Kondisi masyarakat
Unsur utama lainnya adalah bentuk masyarakat yang terbuka atau tertutup dalam struktur yang dilapiskan (stratified) secara segregatif melalui pelapisan berdasarkan agama, asal-usul etnis, bahasa, system budaya maupun keyakinan politik.
e.   Pola kebudayaan masyarakat
Hal ini perlu dipertimbangkan untuk mengetahui pola masyarakat yang berkembang apakah masyarakat monolitik atau masyarakat pluralistic secara budaya.
D.     Alternatif Islam tentang Teori Kenegaraan
Dalam perspektif kontemporer, prinsip rekonstruksi teori kenegaraan ini akan cenderung memunculkan sikap menolak atau menerima dua pandangan yang saling berlawanan. Satu pihak menggugat kepada masyarakat sekuler dan semi sekuler (masyarakat dewasa ini). Sehingga konsep rekonstruksi kenegaraan ini merupakan upaya yang kurang menguntungkan karena adanya solidaritas massa yang cenderung menjadi penghambat pengembangan pluralitas budaya. Muncullah kesenjangan budaya (cultural lag) sebagai penolakan seriap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Akibatnya kadar kontemplasi spiritual muslim menjadi sangat menipis dikarenakan oleh kebutuhan pencaria pemecahan praktis (hulul alamiyah, impelementable solution). 
Sehingga Islam sebagai alternative untuk penyelesaian krisis umum kemanusiaan dan penolakan fungsi komplementer sebenarnya hanya awal dari kesia-siaan upaya sekterian untuk kepentingan Islam saja dalam rekonstruksi sebuah teori kenegaraan. Dengan tanpa mengaitkan teori kenegaraan tertentu, Islam menawarkan beberapa hal untuk pemecahan masalah-masalah umum kemanusiaan yang dapat diperhitungkan dari perspektif kontemporer, sebagai berikut;
1.   Sistem pemerintahan universal
Memberikan kedudukan sama dimuka hokum kepada semua warga Negara tanpa melihat asal usul, agama, etnis, bahasa, budaya maupun keyakinan politik atau jenis kelaminnya
2.   Sistem perwakilan
Berdasarkan ketentuan satu orang satu suara (one man one vote) yang akan menjamin kedaulatan rakyat sebenarnya
3.   Hokum nasional
Berlaku untuk semua warga yang diramu dari unsure-unsur hokum agama yang diterima oleh semua pihak disamping dari sumber-sumber lain.
4.   Jaminan penuh atau kebebasan
Kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan menguasai hak milik.
5.   Pembagian Tanggungjawab
Tiga jenis lembaga Negara; Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang bertugas pada masing-masing bidang kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya. 
6.   Kebebasan agama
Kebebasan mengembangkan agama dan menyebarkan ajaran spiritual tanpa pembatasan apapun selama tidak menjurus kepada kriminalitas
7.   Kebebasan akan kegiatan ilmiah
Bebas melakukan kegiatan ilmiah dalam bentuk apapun, atas karya-karya yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan itu dari tindakan sepihak oleh semua otoritas termasuk otoritas keagamaan diluar jalur pengadilan.
E.     Penutup
Semua bentuk pemecahan yang ditawarkan diatas merupakan titik tolak bagi sebuah pemerintahan yang memiliki keabsahan dalam perspektif kontemporer. Pada beberapa butir diatas dapat ditambahkan; keadilan ekonomi, interdependensi kaum du’afa’, otonomi moral atas politik dan sebagainya. Semua ini harus dioperasionalkan dengan melalui alienasi mendasar diantara warga masyarakatnya yang akan melahirkan labilitas inheren dalam kehidupan bangsa, dan karenanya perlu ditopang dengan penggunaan dan atau kekuasaan. Jika hal ini harus menopang sebuah teori kenegaraan, maka akan sia-sialah semua upaya itu secara keseluruhan. Karena pada dasarnya Islam adalah konstruk moral yang berpijak pada persepsi nasional dan himbauan spiritual bukan pada sistem masyarakat yang semata-mata bertumpu pada kekuatan politik.
REFERENSI
Wahid, Abd dkk 2011; Militansi Aswaja dan Dinamika Pemikiran Islam, Aswaja Center Unisma; (3-8 Mei) I. Visipress Offset. Malang
Jamaluddin Burhan 2011: Particulari Sunnism Versi Hasyim Asy’ari Tentang Ahl As-Sunnah Wa Al-Jamaa’ah; in Islamica Jurnal Studi Keislaman vol. 5, No. 2 (hal. 78-82 Maret) Pasca IAIN Sunan Ampel
FARIHIN
Penulis adalah Pembina IPNU MA Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo

ASWAJA DAN HAM (Tinjauan dari Visi Historis)



A. Pendahuluan
Semua ajaran Islam – perintah dan larangan – bersumber dari Allah SWT, bukannya dari deklarasi dan statemen-statemen. Ajaran tersebut bersifat syar’i. dan kekuatan perintah tersebut dilaksanakan oleh kesadaran nurani yang mendalam sebagai amal sholeh atas manifestasi terhadap perintah-Nya. Pengamalan HAM dalam sejarah islam bagi seorang muslim merupakan suatu perwujudan dari iman (ajaran aqidah).

Ahlus sunnah merupakan madzab terbesar yang dianut oleh umat islam yang dikenal dengan sebutan sunni. Para pengamat sejarah mensinyalir bahwa abdullah bin umar dan abdullah ibn abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat islam dalam satu jama’ah (ahlus sunnah wal jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhamad SAW yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah rosulullah saw.

SEJARAH TAHUN HIJRIYAH


Peredaran langit dan bumi, bulan, bintang, matahari dan benda langit lainnya, adalah salah satu bukti kekuasaan Allah Rabbul ‘Alamin yang hanya akan dapat dipahami orang-orang yang beriman. Dengan banyak memerhatikan dan membaca ayat-ayat Allah, akan bertambah dekatlah dirinya kepada Allah, dan bertambah pula keimanan dan kecintaan kepada-Nya. Dari pengaruh peredaran dan jarak antara bumi, bulan, matahari dan bintang-bintang itulah bergantung segala perkembangan dan kehidupan di muka bumi ini. Terjadi siang dan malam, musim panas, dingin, sedang, turunnya hujan, tumbuh dan berbuahnya segala tumbuhan dan binatang. Semua karena pengaruh peredaran bumi, bulan, matahari dan benda langit lainnya.

Permulaan Tahun Hijriyah
Sebuah dokumen penting telah disampaikan kepada Khalifah Umar bin Khattab dengan memakai tanggalnya hanyalah bulan Syakban semata, sehingga Khalifah Umar sampai-sampai mengatakan : ‘’ Syakban mana? Syakban yang sedang kita hadapi inikah, atau yang akan datang, atau yang sudah lampau?’’

Dalam menelusuri sejarah penetapan tahun hijriyah itu dikabarkan, bahwa Abu Musa Al-Asyari, Gubernur di Basrah (Irak) di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, pernah mengirim surat kepada Khalifah II itu, yang menyatakan bahwa ia telah menerima surat dari Khalifah yang tidak memakai tanggal. Hal ini dirasakan oleh khalifah sebagai sindiran halus tentang penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik di kalangan pemerintah maupun kepentingan umum.

Sindiran halus itu mendorong Khalifah Umar untuk memanggil stafnya untuk membicarakan dan memutuskan soal yang dianggap remeh sebelum itu. Tetapi satu-satunya sangat penting dan menentukan yaitu menetapkan penanggalan (kalender) Islam. Soal yang paling menarik dalam pembicaraan itu adalah : dari mana dimulai titik awal atau permulaan tahun baru Islam. Ada empat alternatif yang digunakan, yaitu, pertama dihitung dari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Kedua, dihitung dari wafatnya Rasulullah SAW. Ketiga, dihitung dari mulainya Rasulullah menerima wahyu. Keempat, dihitung dari hijrahnya dari Makkah ke Madinah. Usul yang keempat ini menurut catatan riwayat, dimajukan oleh Ali bin Abi Thalib, salah seorang dari staf Khalifah Umar bin Khattab yang termuda saat itu. Setelah didiskusikan secara mendalam, akhirnya disetujuilah usul supaya penanggalan (kalender) Islam yang akan ditetapkan itu dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah dan para Sahabat beliau dari Makkah ke Madinah, yang waktu itu masih bernama Yatsrib, dan kemudian menjadi Madinatul Munawarah, yang artinya kota yang memancarkan cahaya yang terang benderang.

Perbedaan dengan Tahun Miladiyah
Tahun miladiyah (masehi) disebut juga Yulian Era atau Gregorian Era (Calendar). Disebut tahun miladiyah atau masehi sebab awalnya ditetapkan dengan kelahiran Nabi Isa AS (Yesus). Disebut Yulian karena diakui dan dipergunakan sejak berkuasanya Yulius Caesar di Roma, kemudian diubah dengan nama Gregorian Calender, karena terjadinya perubahan tanggal, 4 Oktober 1582 diganti dengan tanggal 15 Oktober 1582. Jadi perhitungan harinya dikurangi 11 Hari. Di saat itu berkuasa Paus Gregory. Sebelum tahun 1582, yang disebut satu tahun adalah lamanya peredaran bumi mengelilingi matahari yang lamanya ditetapkan 365 hari 6 jam. Setelah berjalan perhitungan itu selama hampir 16 abad lamanya, ternyata sudah tepat datangnya musim dingin dan musim panas.

Diketahui tahun itu lamanya peredaran bumi dikelilingi matahari adalah 365 hari, 5 jam, 49 menit dan 12 detik. Jadi dengan penetapan setahun lamanya 365 hari dan sekali 4 tahun menjadi 366 hari, maka perhitungan itu berlebih 10 menit 48 detik.

Kejadian ini dalam 16 abad sudah menjadi 11 hari lamanya. Sebab itu maka para ahli pada tahun 1582 mengubah tanggal 4 Oktober 1582 menjadi 15 Oktober 1582. Inggris baru mengakui perhitungan ini seabad kemudian yaitu pada tahun 1752, sedang Yunani baru mengakuinya pada tahun 1923 silam. Bumi sebagaimana diketahui dalam peredarannya mengelilingi matahari, kadang-kadang tepat yaitu matahari persis garis khatulistiwanya. Sedikit demi sedikit miring ke Utara, sehingga udara bahagian Utara permukaan bumi menjadi panas. Tepat pada tanggal 21 Juni tiba di puncak arah Selatan dan kembali matahari tepat di garis khatulistiwanya kembali. Lalu terus bertambah miring ke Selatan sampai pada kemiringan 231/1 derajat Utara dari bumi (Eropa), dan musim panas di bagian Selatan (Amerika). Dalam hal ini, Allah menjelaskan dalam firman-Nya :

‘’Dia Rabb (yang mengatur) dua Timur dan dua Barat. (QS. Ar-Rahmaan: 17)
Dengan segala perubahan letak bumi itulah diketahui segala macam musim, dan berkembang biaknya binatang, burung, atau ikan laut. Semua itu sangat penting diketahui untuk keselamatan pelayaran, penerbangan atau perkembangan segala yang terdapat di bumi ini.

Tahun Hijriyah
Tahun hijriyah juga disebut dengan Islamic Calendar, dihitung dari lamanya bulan mengitari bumi. Bulan adalah satelit bumi. Ke mana saja bumi beredar, bulan mengikutinya dengan mengitari bumi. Bulan mengitari bumi selama 29 hari, 12 jam, 44 menit dan 2,78 detik. Dalam satu tahun Hijriyah selama 12 kali bulan mengitari bumi, menjadi 354 hari lebih. Kelebihan 44 menit dan 2,78 detik itu dalam 30 tahun menjadi 11 hari. Sebab itu tahun Hijriyah dijadikan tahun pendek dengan umurnya 354 hari. Dan 11 hari dalam 30 tahun dijadikan tahun panjang yang umurnya 355 hari. Bulan Hijriyah ditetapkan umurnya bergilir 29 dan 30 hari. Yaitu bulan Muharram 30 hari umurnya, bulan Syafar 29, Rabbiul Awwal 30, Rabbiul Akhir 29, Jumadil Awwal 30, Jumadil Akhir 29, Rajab 30, Syakban 29, Ramadhan 30, Syawal 29, Zulqaidah 30, dan Zulhijjah 29/28. Di tahun panjang, bulan Zulhijjah dijadikan 30 hari.

Islamic Calendar
Hari bulan hijriyah dihitung dari terjadinya kesejajaran antara bumi, bulan dan matahari, yang disebut ijtimak, sehingga bulan lenyap sama sekali dari pandangan mata. Sebab ketika ijtimak itu, bulan kena sinar matahari menghadap ke matahari dan membelakangi bumi. Dan bila tidak kena sinar matahari tidak kelihatan. Di saat itu berakhirlah bulan dan besoknya dihitung sebagai bulan baru.

Karena sudah tidak sejajar lagi, maka pinggir bulan yang terkena sinar matahari dapat kita lihat dari bumi, sehingga bulan seperti sabit tipis, semakin hari semakin tebal. Tanggal 7 menjadi seperdua bundaran, tanggal 14 menjadi penuh, dinamai bulan purnama. Kemudian berkurang dan berkurang, tanggal 21 menjadi  bundaran, dan tanggal 29 lenyap karena kembali sejajar antara bumi, bulan dan matahari.

Dengan demikian kita ingat bahwa antara tahun miladiyah dengan tahun hijriyah terdapat perbedaan umurnya 10, 11 atau 12 hari dalam setahunnya. Namun semua ibadat dalam Islam dipergunakan perhitungan tahun hijriyah. Sebab itulah dinamai juga perhitungan sebagai tahun Islam atau Islamic Calendar.***
Bashori Alwi
Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Nurul Jadid Paiton dan
Lajnah Falakiyah MWC NU PAITON

Kamis, 11 September 2014

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un


Kabar duka menyelimuti pengurus MWC NU Paiton, Ust. Jufri Sholeh, sosok yang tak kenal lelah demi memperjuangkan Nahdlatul Ulama telah kembali keharibaan sang Robbi.
Beliau yang menjabat sebagai Rois Syuriah NU Ranting Sumberanyar meninggal pada hari Senin, 11 September 2014 di kediamannya Sumberanyar Kecamatan Paiton.
Meninggalnya salah satu pejuang NU ini membuat sebagian besar warga nahdliyin dan masyarakat sekitar merasa kehilangan. Sejak kabar duka tersebut tersebar, di rumah duka banyak masyarakat yang datang takziah untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa sekaligus membacakan tahlil.
Kabar meninggalnya Ust. Jufri Sholeh juga tersebar melalui pesan BlackBerry Messanger. Hal itu juga diperkuat dengan ucapan H. Barzan Ahmadi, M.Pd.I Selaku Ketua MWC NU Paiton.
"Almarhum sosok yang sangat teguh untuk berjuang bersama, demi kepentingan umat, demi berdakwah. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Amin." kata H. Barzan Ahmadi, M.Pd.I saat ditanya oleh Crew Pro - Aswaja.
Segenap Crew Pro - Aswaja MWC NU Paiton turut berbela sungkawa atas meninggalnnya Ust. Jufri Sholeh selaku Rois Syuriah NU Ranting Sumberanyar.<CPA/MIG>

Rabu, 10 September 2014

MWC NU Paiton, Kaji Tafsir Ahkam



Sejak tahun lalu, Pengurus MWC NU Paiton mengadakan kajian kitab kuning. Kegiatan ini tidak hanya diikuti oleh pengurus, masyarakat sekitar pun ikut berpartisipasi untuk melesatarikan budaya NU yang kini semakin ditinggalkan. Sehingga setiap Jum’at malam selepas shalat Isya’, nuansa salafi kental terasa di Kantor MWC NU Paiton.

NU 'MENGUDARA'


NU menunjukkan kekonsistenannya untuk bisa mengepakkan sayap keaswajaan yang sudah membumi, dari sekian organisasi yang ada didalamnya serta program-program yang yang sudah banyak membantu warga nahdliyyin pada khususnya dan warga indonesia pada umumnya, dari segi penegakan syari'at islam.
untuk bisa tetap eksis dan mudah dalam menyampaikan ajaran islam yang sesuai dengan ahlus sunnah wal jamaah, NU resmi membuka stasiun televisi lokal yaitu TV9.
TV9 Surabaya adalah sebuah stasiun televisi lokal di Surabaya dengan siaran bernuansa Islam. TV9 dikelola oleh PT. Dakwah Inti Media, perusahaan yang dimiliki oleh KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, S.H.,MM., termasuk di dalamnya organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur. TV9 diluncurkan pada tanggal 31 Januari 2010 oleh Soekarwo sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Nahdlatul Ulama ke-84. TV9 telah memperoleh Ijin Penyelenggaraan Penyiaran prinsip tertanggal pada 7 Juli 2009 dan Ijin Penyelenggaraan Penyiaran tetap tertanggal pada 23 Juli 2012 dari Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia untuk melakukan siaran sebagai lembaga penyiaran swasta lokal untuk di Surabaya/Jawa Timur. TV9 berada di Channel 42 UHF.
TV9 memulai siarannya pada tanggal 31 Januari 2010 dan memfokuskan siaran pada program-program bernuansa Islami.
dengan mengudaranya tv9 diharapkan dengan program-program yang ada bisa membuat warga nahdliyin semakin paham tentang keagamaan.
namun, dengan maraknya stasiun televisi lokal yang membawa nuansa islami, seperti insan tv, rodja tv.  nilai-nilai keaswajaan mulai disusupi dengan kepentingan-kepentingan beberapa golongan bahkan organisasi masyarakat. oleh karena itu, dihimbau untuk warga nahdliyin berhati-hati saat memilih berita yang nantinya bisa mengkaburkan lagi ajaran-ajaran islam yang sesuai dengan aswaja.
Untuk selengkapnya, TV9 dapat disaksikan melalui:
- TV Parabola: Satelit Telkom 1, Frequensi 3552, Symbol Rate 3100, Polarisasi Horizontal (Area Seluruh Indonesia)
- TV Analog: 42 UHF (Area Jawa Timur)
- TV Streaming: http://www.tv9.co.id/stream (Dunia)
- Streaming Islami: http://www.streamingislami.com/video-islam/24/TV9-Surabaya.html (Dunia)
Selain TV9 Surabaya, stasiun televisi Islam ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia lainnya adalah ASWAJA TV (Nahdliyyin Network). stasiun televisi yang bernuansa Islami yang diluncurkan pada bulan Juli 2013. Dari namanya, ASWAJA TV merupakan stasiun TV yang berbasis Islam Sunni yang dapat di akses melalui Satelit Palapa D, Frekuensi: 03932, Symbol Rate: 15800, Polarisasi: Vertikal, Type Video: MPEG2 dan MPEG2 serta PBNU TV.
mari kita pelihara bersama TV kebanggaan kita.
(cpa/mig)

Pengurus MWCNU Paiton Resmi Dilantik

Probolinggo, NU Online

Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Paiton Gending Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur masa khidmat 2013-2018, Ahad (17/11) resmi dilantik oleh Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kraksaan KH. Nasrullah A. Suja’i di Pesantren Darul Ulum Paiton.

Pelantikan ini dihadiri oleh Wakil Rais Syuriyah PCNU Kraksaan KH. Amin Fathullah beserta segenap pengurus lembaga, lajnah dan badan otonom mulai tingkat MWC hingga ranting serta Camat Paiton dan jajaran Muspika Paiton, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berada di Kecamatan Paiton dan sekitarnya.

Dalam kepengurusan MWCNU Kecamatan Paiton masa khidmat 2013-2018 ini, Rais Syuriyah dijabat oleh H. Abdul Wafi dan Ketua Tanfidziyah dijabat oleh H. Barzan Ahmadi. Pelantikan ini digelar bersamaan dengan peringatan tahun baru Islam 1435 H.

Ketua Tanfidziyah MWCNU Kecamatan Paiton Barzan Ahmadi mengaku siap menjalankan amanah dari konferensi secara maksimal dan tepat guna sehingga pada akhir masa khidmat semua program dapat dijalankan dengan baik dan manfaatnya sesuai dengan harapan bersama.

“Yang jelas saya dan Rais Syuriyah H. Abdul Wafi telah menyiapkan beberapa program untuk lima tahun kedepan. Mohon doa dan dukungannya agar kami berdua bisa bekerja dengan lebih baik lagi dari sebelumnya,” ungkapnya.

Sementara Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Kraksaan KH. Nasrullah A. Suja’i menghimbau agar pengurus NU yang baru dilantik dapat membentengi diri dan warga NU seiring dengan maraknya faham-faham yang mengusik organisasi besar seperti NU dengan menghidupkan lailatul ijtima’ dan tradisi-tradisi NU lainnya.

”Hidupkanlah tradisi-tradisi NU seperti istighotsah dan lailatul ijtima’ untuk membentengi NU dari faham-faham yang tidak sesuai dengan kaidah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja),” ungkapnya.

Menurut Kiai Suja’i, menjadi pengurus NU merupakan sebuah perjuangan dan keikhlasan. Sebab di dalam organisasi keagamaan terbesar tersebut pengurus tidak memperoleh gaji. ”Pengurus NU harus ikhlas berjuang demi membesarkan organisasi untuk kemaslahatan ummat,” jelasnya.

Sementara Camat Paiton H. Buwang Ponadi berharap agar pengurus MWC yang dilantik bisa membangun sinergisitas dalam rangka meningkatkan pembangunan umat, mengingat dengan adanya kerjasama yang baik akan dapat meningkatkan pembangunan di segala bidang.

“Semoga ke depan sinergisitas antara pemerintah dengan MWCNU di Kecamatan Paiton bisa semakin erat dalam rangka untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” ujarnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)



MWCNU Paiton Terima Penghargaan Kartanu Terbanyak

Probolinggo, NU Online

Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo membuktikan diri sebagai satu-satunya MWCNU se-PCNU Kota Kraksaan yang memperoleh Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama (Kartanu) terbanyak.

Penghargaan sebagai MWCNU yang perolehan Kartanunya terbanyak tersebut diserahkan oleh Tim Kartanu PCNU Kota Kraksaan kepada Ketua MWCNU Moh. Barzan. Penghargaan juga diberikan kepada MWCNU Pajarakan dan Krejengan sebagai Kartanu terbanyak kedua dan ketiga.

Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Kraksaan KH. Nasrullah Ahmad Suja’i menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pengurus MWCNU dan warga NU yang bersama-sama ikut mensukseskan pelaksanaan Kartanu.

“Mudah-mudahan dengan adanya Kartanu ini, proses pendataan warga NU terutama di PCNU Kota Kraksaan dapat berjalan maksimal serta data yang didapat benar-benar akurat karena sudah terdata dengan baik,” ungkapnya kepada NU Online, Senin (10/6).

Menurut Kiai Suja’i, program Kartanu ini bertujuan untuk pembuatan database (sensus) warga NU, mengantisipasi terhadap pihak luar dan memberikan kontribusi finansial ke organisasi serta memberi data pendukung untuk program PWNU dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

“Manfaat Kartanu sekarang banyak sekali, mulai dari untuk mengetahui jumlah keanggotaan NU di masing-masing ranting dan MWC, juga untuk mensubsidi NU dari tingkat cabang, MWC sampai pada tingkatan ranting. Selain itu, adanya Kartanu juga untuk mensubsidi GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU,” jelasnya.

Kiai Suja’i mengungkapkan, Kartanu sangat penting untuk dimiliki oleh warga nahdliyin sebagai bukti resmi warga NU. ”Apalagi belakangan ini banyak orang meminta surat keterangan menjadi warga NU untuk kepentingannya terutama mereka yang ingin mendaftar beasiswa belajar ke luar negeri,” jelasnya.

Dikatakan Kiai Suja’i, pendataan melalui Kartanu ini memiliki arti yang sangat penting untuk penguatan organisasi dan warga NU. Selain untuk mengetahui jumlah valid anggota NU, keberadaan Kartanu ini dimaksudkan untuk menangkal dan membentengi warga NU dari budaya luar yang tidak sesuai dengan amaliah NU, ”Sebagai organisasi yang kuat, NU harus tahu jumlah anggota dan seluruh warga Nahdliyin di wilayahnya,” tambahnya.

Dengan memiliki Kartanu dijelaskan Kiai Suja’i, berarti warga NU sudah memberikan kontribusi kepada organisasi untuk penguatan jam'iyah NU. Pendataan Kartanu ini sangat efektif menjadi salah satu kontribusi warga kepada NU.

”Dengan adanya Kartanu ini, kita akan lebih mudah dalam memberikan pembinaan kepada warga nahdliyin. Intinya, kalau kita sudah memiliki Kartanu, berarti kita benar-benar setia kepada NU,” pungkasnya.


Redaktur     : Abdullah Alawi
Kontributor : Syamsul Akbar

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,45053-lang,id-c,daerah-t,MWCNU+Paiton+Terima+Penghargaan+Kartanu+Terbanyak-.phpx

Senin, 08 September 2014

KH. Wahab Hasbullah



KH. Wahab Hasbullah
Prolog
Menilik sekilas tentang sejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), selain tokoh fundamental K.H.

Hasyim Asy’ari dan K.H. A.Wahid Hasyim juga dikenal K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang berperan penting dalam proses berdiri sampai berkembangnya NU. Jika sosok K.H. A.Wahid Hasyim dapat dikategorikan sebagai tokoh dan teladan kaum muda, maka K.H. Wahab Hasbullah dapat dikatakan sebagai sosok kaum tua dari sederet kiai dalam organisasi tersebut. Beliau menjadi kiai yang paling lama berkiprah di pentas perpolitikan nasional. 

Hal ini disebabkan karena ia berkiprah tanpa henti mengikuti tiga zaman, yaitu masa pergerakan sampai merebut kemerdekaan, masa kepemimpinan Soekarno dan masa kepemimpinan Soeharto. Sosok beliau dikenal sebagai seorang pekerja keras, gesit dan tekun. Walaupun tubuhnya kecil dan sebenarnya tidak layak disebut sebagai pendekar, namun ulama khos Kyai Kholil Bangkalan Madura, menyebutnya semenjak muda sebagai “macan”. 

Hal tersebut dibuktikan sebagai sosol kiai yang tidak hanya berani dengan tangan kosong, tapi juga berani  berkelahi lewat jalur politik. Beliaulah yang mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Kemudian beliau mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkarm Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar yang kesemuanya itu menjadi embrio berdirinya organisasi NU. Bahkan dalam urusan mistik, Kiai Wahab Hasbullah mempunyai wirid tersendiri yang bukan hanya cukup disegani, melainkan juga banyak dipercayai oleh para santri dalam memudahkan segala urusan dunianya.

Kiai Wahab Hasbullah adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir moderat, pragmatis, dan terbuka. Ia bersikap sangat kontekstual dalam memandang hukum-hukum fikih sehingga sering mendapat peringatan dari guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa dalam menyampaikan fikih jangan sampai kebablasan.
Dari sinilah kita perlu menggali lebih jauh tentang sosok dan kiprah K.H. Wahab Hasbullah. Dari berbagai referensi yang dapat penulis temukan dalam menyusun makalah ini, semoga dapat membawa manfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin menjadikan beliau sebagai teladan.

BIOGRAFI KIAI WAHAB HASBULLAH
Kelahiran dan Masa Kanak-Kanak
Kiai Abdul Wahab Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai Latifah, pada Maret 1888 di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu. Semenjak kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala permainan.

Silsilah Keturunan
K.H. Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah K.H. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichan.

Pendidikan
Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1.      Pesantren Langitan Tuban.
2.      Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3.      Pesantren Cempaka.
4.      Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5.      Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6.      Pesantren Branggahan, Kediri.
7.      Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.

Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).

Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.

Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.

Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.

Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.

Pernikahan belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).

Wafat
K.H. Abdul Wahab Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul Ulama sampai akhir hayatnya. Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah Muktamar terakhir yang diikutinya. Khutbah al-iftitah muktamar yang lazim dilakukan oleh Rais Aam kemudian diserahkan kepada K.H. Bisri Syansuri yang biasa membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai Rais Aam untuk membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah meninggalkan muktamar dalam keadaan sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita sakit mata yang menyebabkan kesehatannya semakin menurun.

Akhirnya, tepat empat hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12 Dzulqa’idah 1391 H atau 29 Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di kediamannya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang (Masyhuri, 2008:107).

PERJUANGAN
Perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan pergerakan, organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja dipilih Nahdlatul Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonial Belanda.
Menurut K.H. Muhammad Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.

Ketika Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei 1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali melakukan dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar belakangi oleh adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para santrinya melakukan saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui perjuangan yang berat dan penuh resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari tahanan pemerintah militer Jepang setelah lebih dari empat bulan beliau dipenjara oleh Jepang. Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga disini. Lalu pergilah Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU melalui pengadilan Jepang.

Tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.

Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan” yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur (non-partai) karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan yang baik antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI didirikan di Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober 1943 dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.

Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya bersama rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah pengetahuannya.

Beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail Diniyyah” (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis.

Selanjutnya, pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H. Hasyim Asy'ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah.

PEMIKIRAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial?.

Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.

Bidang Pendidikan
Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:
1.   Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2.   Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3.   Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
4.   Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).

Bidang Keagamaan
Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pla pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal sebagai moderatisme.

Pergerakan
Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab Hasbullah?

Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan. Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren.

Demokrasi
Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:

“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan “landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).

         Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.

WARISAN DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Ukuran ketokohan K.H. Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku karya ilmiahnya, karena memang bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan sebuah karangan pun, melainkan buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan dimana-mana dalam banyak kesempatan dan peristiwa. Mungkin bagi kalangan intelektual murni, yang suka menganalisis dari teks ke teks saja, hal ini sangat disayangkan. Setidaknya, beliau menyempatkan diri untuk menuliskan buku panduan menkadi politisi menurut konsep aswaja.
Namun, sebenarnya  tidaklah benar seratus persen jika Kiai Wahab Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau dikenal sebagai kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab menyebut ijazah, macam-macam hizib, wirid kepada seluruh warga NU da siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Ia menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkaenal dan biasa diamalkan terutama dikalangan Pesantren sampai sekarang, dicuplik dari buku Azis Mashyuri, yaitu:
            “Maulaya shalli wa sallim da’iman abada
                        ‘alal habibika khairil khalqi kullihimi

            Huwal habibul ladzi turja syafa’atuhu
                        Likulli hauli minal ahwali muktahimi