{Pesan Gus Dur)

"Mendirikan Negara Islam Tidak Wajib Bagi Kaum Muslimin, tapi Mendirikan Masyarakat Yang Berpegang Pada Ajaran Islam Adalah Sesuatu Yang Wajib".

Al Muhafadhotu 'Ala al Qodimi as-Sholih Wal Akhdu Bi aljadidi al- Ashlah

"(melestarikan nilai-nilai lama yang masih relevan dan megambil ilai-nilai baru yang lebih progresif)".

{Pesan Gus Dur)

"Mendirikan Negara Islam Tidak Wajib Bagi Kaum Muslimin, tapi Mendirikan Masyarakat Yang Berpegang Pada Ajaran Islam Adalah Sesuatu Yang Wajib".

Minggu, 02 November 2014

MWC NU Paiton Mengadakan Kirab Obor di Malam Asyuro`

Alhamdulillah, itulah kata yang pertama kali keluar dari mulut Gus Imam Muttaqin, ketua panitia Festival Seni dan peringatan hari besar islam 1436 H. setelah sukses melaksanakan acara tersebut.
Bertepatan dengan malam 10 Muharram 1436 H. MWC NU Paiton mengadakan acara yang berkaitan dengan tahun baru Islam yang dibingkai dengan kirab obor, santunan anak yatim dan penampilan oleh Gambus Modern 'Al-Muhith' dari kabupaten Probolinggo.
Ba'da Maghrib, dimulai dari MAN Paiton, kirab obor yang diikuti oleh 500an peserta dari beberapa lembaga sekolah dan TPQ se-kecamatan paiton berpawai menuju tempat acara yang bertempat di Halaman Masjid Baitis Salam Karanganyar Paiton.
H. Abdul Wafi Rowi selaku Rois Syuriah MWC NU Paiton, berpesan dalam sambutannya bahwa generasi muda layaknya obor yang menyala terang, harus selalu bersemangat dan terus melestarikan ajaran islam. "Hidup Islam." Teriak beliau seraya menutup sambutan pelepasan peserta kirab obor.
Dilanjutkan dengan menyalakan Obor oleh H. Barzan Ahmadi selaku Ketua Tanfidziyah sebagai simbol melepas peserta kirab obor. 
Dengan sangat antusias, peserta berpawai dengan iringan sholawat yang dipandu oleh tim hadrah asal karanganyar, bahkan sempat membuat macet jalan raya arah Probolinggo-Banyuwangi beberapa menit karena banyaknya peserta kirab yang mengikuti pawai serta masyarakat yang ingin menyaksikan langsung kirab obor ini.
"Tujuan adanya acara ini adalah  mengingatkan kembali kita bahwa pada bulan Muharram ini, momentum atas peristiwa hijrah Rasulullah Muhammad SAW dan Mengingatkan ummat Islam dan masyarakat bahwa, marak dan merajalelanya berbagai bentuk kemaksiatan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan selama ini, tidak terlepas dari fenomena lemahnya semangat dan usaha da’wah serta amar bil ma’ruf wannahi ‘anil munkar di kalangan masyarakat. sedangkan bentuk acara ini dikemas dengan Festival Seni tak lain dikarenakan MWC NU Paiton tidak melulu mengadakan pengajian umum dalam tiap kegiatannya akan tetapi bisa menyuguhkan hiburan untuk masyarakat seperti mendatangkan gambus dll seperti malam ni." jawab Gus Imam Muttaqin, saat di Tanya Tim Redaksi
<CPA/MIG>

Sabtu, 13 September 2014

MELACAK EMBRIO GERAKAN ISLAM PURITAN (Suatu Tinjauan Kontinuitas dan Diskontinuitas Sejarah Pemikiran Khawarij)



Oleh: Ahmad Fawaid
LAKPESDAM MWC NU Paiton

Prawacana
Selama dua puluh tiga tahun, dengan segala kharisma dan kehebatan yang dimilikinya, nabi Muhammad mampu meredam dan merubah kefanatikan kabilah menjadi kefanatikan agama. Awalnya, masyarakat Arab bangga dengan nama suku yang disandangnya, namun mereka merasa malu menggunakan gelar kesukuannya setelah Nabi merubah pandangan dunia (wordview) dengan nuansa persatuan Islam (Ummah Wahidah). Seperti gelar kesukuan al-Tamimi, al-‘Adi, al-Zahri, di masa Nabi mereka merasa malu menggukannya dan bangga dengan sebutan al-Siddiq, al-Faruq, al-Murtadla.

Jumat, 12 September 2014

ASWAJA DAN PRINSIP-PRINSIP KENEGARAAN DALAM PERSPEKTIF KONTEMPORER

       A.     Latar Belakang
            Pada masa klasik dan pertengahan belum pernah terjadi perdebatan tantang, apakah “umat Islam” harus melakukan pengintegrasian atau pemisahan antara agama dan Negara? Atau apakah Islam itu punya konsep sistem kenegaraan atau tidak? Hal ini karena dalam sejarahnya sejak zaman Nabi sampai jatuhnya kesultanan Turki 1924, Islam sudah terintegrasi dalam Negara.
            Sebagian besar tokoh dan Gerakan Islam berpendapat, bahwa islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara. Islam menurut mereka telah mengatur prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip dasar itu adalah keadilan, permusyawaratan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.
Seperti diketahui sepanjang sejarah Aswaja didukung oleh mayoritas umat Islam. Ia diakui sebagai ideology berbagai kelompok – baik besar maupun kecil – diberbagai penjuru dunia Islam. Setiap periodisasi sejarah menampilkan Sunnisme dengan dinamikanya yang kahas. Setiap kawasan dalam dunia Islam juga memiliki keunikan-keunikan tertentu dalam implementasi Sunnism. Bahkan sekelompok ummat menampilkan karakter berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Sunnism adalah sebuah ideology atau paham keagamaan yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya bisa dilihat dari keberagaman masing-masing kelompok pendukunya dalam mengaktualisasikan ideology ini.
B.      Memahami Aswaja
Mengenai pengertian Aswaja disini adalah sebuah kelompok atau gerakan dalam sejarah, yang bisa dipahami sebagai sebuah doktrin yang telah dirumuskan (dari aspek teologis), sehingga kemudian pengertian ini berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan yang dilawankan dengan Mu’tazilah atau Syi’ah. Kalau kita telaah sejarah bahwa kemunculan  Aswaja merupakan suatu reaksi terhadap Mu’tazilah yang dianggap ‘sesat’ karena telah mendewakan akal dari pada wahyu.  Lalu secara spesifik, Aswaja dirumuskan menjadi sebagai mazhab yang dalam berakidah mengikuti salah satu imam Al-Asya’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali) dan dalam bidang tasawuf mengikuti imam al-Junaidi atau al-Ghazali.
Dalam era modern seperti sekang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, serta perubahan social begitu cepat dan problem-problem social pun semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hokum yang telah dirumuskan Aswaja yang bersifat qauli/aqwali tidak selamanya mampu menjawab problema dan tantangan zaman tersebut. Kini saatnya muali dikembangkan pemikiran-pemikiran teologis yang menyentuh pada persoalan-persoalan praktis pada masyarakat dan kepentingan umat. Islam mendeklerasikan kesatuan jenis manusia sejak 14 abad silam. Sehingga Islam menjamin pertumbuhan wujud individu, menghapus struktur etnis, kelas-kelas dan suku  disamping menghapus kecenderungan manusia yang muncul dari berbagai factor diskriminasi.
Kemerdekaan dan kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Islam, karena merupakan fitrah Allah SWT yang lazim. Yaitu suatu kebebasan dan kemerdekaan yang tidak melukai prinsip-prinsip social umum dan tidak membayakan pihak-pihak lain.
Keseimbangan antara kebutuhan institusi pemerintah yang kuat disatu pihak dan partisipasi masyarakat secara penuh dipihak lain menyebabkan kemacetan teori politik klasik dari kaum sunni. Mulanya sunni berupaya menemukan sintesis antara teori politik khawarij; kebebasan penuh warga masyarakat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan teori politik syi’ah; ketundukan mutlak kepada pemegang kekuasaan. Namun kenyataannya adalah secara historis bahwa penyebab kemacetan teori politik ini terjadi atau ditimbulkan oleh tekanan yang lebih kuat kepada kekuasaan pemerintah.
C.     Teori Kenegaraan; menurut Al-Qur’an
Relevansi teori kenegaraan Islam; sebuah pendekatan objektif yang dilakukan dengan melihat sumber-sumber tekstual (Al-Qur’an dan As-Sunnah) secara historis. Al-Qur’an memberikan suatu cara tertentu semisal proses pelaksanaan Syura (permusyawaratan) sebagai wacana penyalur aspirasi individu warga baik mikro ataupun makro yang merupakan bagian pokok politik ditentukan dan diinginkan oleh Al-Qur’an. Syura atau musyawarah adalah fondasi bermasyarakat yang member kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Demikian juga hak-hak individu juga ditegakkan, Rasulullah SAW bersabda; tiada ketundukan kepada makluk (termasuk yang paling berkuasa sekalipun) dalam hal yang menentang (ketentuan) Allah SWT. Dalam suatu ayat al-Qur’an yang artinya; tundukkanlah kalian kepada Allah SWT, utusan-Nya dan pemegang kekuasaan (pemerintah) diantara kalian.
Namun demikian, suatu ketundukan terhadap kekuasaan pemerintah mensyaratkan beberapa ketentuan diantaranya ; a) tindakan yang adil, b) mengutamakan kemaslahatan ummat/umum dan c) pemenuhan batas minimal kebutuhan hidup. Bahkan lebih lanjut di dalam al-Qur’an kita diperintahkan untuk; berlaku adil, ketentuan akan keharusan mencari seorang hakim di dalam sengketa, keadilan dalam konteks moral sebagai sikap hidup akan kelayakan dalam memegang jabatan, kemaslahatan umum secara operasional harus didasarkan kepada kepentingan orang banyak (qawaid al-fiqh) semisal perintah menyelenggarakan jihad yang direalisasikan dalam wujud penyediaan makanan, penyediaan pakaian dari aurat, penyediaan papan, obat-obatan dan biaya perawatan baik muslim dan non-muslim yang hidup damai dalam masyarakat yang sama.
Akan tetapi ketaatan, keadilan dan kemaslahatan umum tidak hanya menjadi unsur semata tanpa diimbangi dengan yang lain, masih banyak unsur lain yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah pengembangan model pemerintahan. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan tersebut antara lain;
a.   Pandangan institusi pemerintah
Merupakan unsure mutlak dari sebuah model ideal yang bisa dikembangkan baik berupa bentuk kelompok inti atau permanen dan atau pengaturan kelompok inti permanen dengan lembag-lembaga diluar. Institusi ini sebagai penentu keputusan pemerintah yang tanpa bisa mungkin dibantah lagi (hukum formal)
b.    Peran hukum formal
Sebagai sebuah pemerintahan model ideologis yang tidak hanya membatasi perkembangan hukum dan  terpaku pada pola yang sesuai dengan kebutuhan ideologi.
c.   Batasan atas jangkaun hukum
Pengembangan hukum itu akan berarti pembatasan hak warga untuk melakukan perubahan social yang diinginkannya melalui cara-cara yang demokratis. Sehingga akan sangat menentukan orientasi kehidupan masyarakat tersebut.
d.   Kondisi masyarakat
Unsur utama lainnya adalah bentuk masyarakat yang terbuka atau tertutup dalam struktur yang dilapiskan (stratified) secara segregatif melalui pelapisan berdasarkan agama, asal-usul etnis, bahasa, system budaya maupun keyakinan politik.
e.   Pola kebudayaan masyarakat
Hal ini perlu dipertimbangkan untuk mengetahui pola masyarakat yang berkembang apakah masyarakat monolitik atau masyarakat pluralistic secara budaya.
D.     Alternatif Islam tentang Teori Kenegaraan
Dalam perspektif kontemporer, prinsip rekonstruksi teori kenegaraan ini akan cenderung memunculkan sikap menolak atau menerima dua pandangan yang saling berlawanan. Satu pihak menggugat kepada masyarakat sekuler dan semi sekuler (masyarakat dewasa ini). Sehingga konsep rekonstruksi kenegaraan ini merupakan upaya yang kurang menguntungkan karena adanya solidaritas massa yang cenderung menjadi penghambat pengembangan pluralitas budaya. Muncullah kesenjangan budaya (cultural lag) sebagai penolakan seriap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Akibatnya kadar kontemplasi spiritual muslim menjadi sangat menipis dikarenakan oleh kebutuhan pencaria pemecahan praktis (hulul alamiyah, impelementable solution). 
Sehingga Islam sebagai alternative untuk penyelesaian krisis umum kemanusiaan dan penolakan fungsi komplementer sebenarnya hanya awal dari kesia-siaan upaya sekterian untuk kepentingan Islam saja dalam rekonstruksi sebuah teori kenegaraan. Dengan tanpa mengaitkan teori kenegaraan tertentu, Islam menawarkan beberapa hal untuk pemecahan masalah-masalah umum kemanusiaan yang dapat diperhitungkan dari perspektif kontemporer, sebagai berikut;
1.   Sistem pemerintahan universal
Memberikan kedudukan sama dimuka hokum kepada semua warga Negara tanpa melihat asal usul, agama, etnis, bahasa, budaya maupun keyakinan politik atau jenis kelaminnya
2.   Sistem perwakilan
Berdasarkan ketentuan satu orang satu suara (one man one vote) yang akan menjamin kedaulatan rakyat sebenarnya
3.   Hokum nasional
Berlaku untuk semua warga yang diramu dari unsure-unsur hokum agama yang diterima oleh semua pihak disamping dari sumber-sumber lain.
4.   Jaminan penuh atau kebebasan
Kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan menguasai hak milik.
5.   Pembagian Tanggungjawab
Tiga jenis lembaga Negara; Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang bertugas pada masing-masing bidang kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya. 
6.   Kebebasan agama
Kebebasan mengembangkan agama dan menyebarkan ajaran spiritual tanpa pembatasan apapun selama tidak menjurus kepada kriminalitas
7.   Kebebasan akan kegiatan ilmiah
Bebas melakukan kegiatan ilmiah dalam bentuk apapun, atas karya-karya yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan itu dari tindakan sepihak oleh semua otoritas termasuk otoritas keagamaan diluar jalur pengadilan.
E.     Penutup
Semua bentuk pemecahan yang ditawarkan diatas merupakan titik tolak bagi sebuah pemerintahan yang memiliki keabsahan dalam perspektif kontemporer. Pada beberapa butir diatas dapat ditambahkan; keadilan ekonomi, interdependensi kaum du’afa’, otonomi moral atas politik dan sebagainya. Semua ini harus dioperasionalkan dengan melalui alienasi mendasar diantara warga masyarakatnya yang akan melahirkan labilitas inheren dalam kehidupan bangsa, dan karenanya perlu ditopang dengan penggunaan dan atau kekuasaan. Jika hal ini harus menopang sebuah teori kenegaraan, maka akan sia-sialah semua upaya itu secara keseluruhan. Karena pada dasarnya Islam adalah konstruk moral yang berpijak pada persepsi nasional dan himbauan spiritual bukan pada sistem masyarakat yang semata-mata bertumpu pada kekuatan politik.
REFERENSI
Wahid, Abd dkk 2011; Militansi Aswaja dan Dinamika Pemikiran Islam, Aswaja Center Unisma; (3-8 Mei) I. Visipress Offset. Malang
Jamaluddin Burhan 2011: Particulari Sunnism Versi Hasyim Asy’ari Tentang Ahl As-Sunnah Wa Al-Jamaa’ah; in Islamica Jurnal Studi Keislaman vol. 5, No. 2 (hal. 78-82 Maret) Pasca IAIN Sunan Ampel
FARIHIN
Penulis adalah Pembina IPNU MA Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo

ASWAJA DAN HAM (Tinjauan dari Visi Historis)



A. Pendahuluan
Semua ajaran Islam – perintah dan larangan – bersumber dari Allah SWT, bukannya dari deklarasi dan statemen-statemen. Ajaran tersebut bersifat syar’i. dan kekuatan perintah tersebut dilaksanakan oleh kesadaran nurani yang mendalam sebagai amal sholeh atas manifestasi terhadap perintah-Nya. Pengamalan HAM dalam sejarah islam bagi seorang muslim merupakan suatu perwujudan dari iman (ajaran aqidah).

Ahlus sunnah merupakan madzab terbesar yang dianut oleh umat islam yang dikenal dengan sebutan sunni. Para pengamat sejarah mensinyalir bahwa abdullah bin umar dan abdullah ibn abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat islam dalam satu jama’ah (ahlus sunnah wal jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhamad SAW yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah rosulullah saw.

SEJARAH TAHUN HIJRIYAH


Peredaran langit dan bumi, bulan, bintang, matahari dan benda langit lainnya, adalah salah satu bukti kekuasaan Allah Rabbul ‘Alamin yang hanya akan dapat dipahami orang-orang yang beriman. Dengan banyak memerhatikan dan membaca ayat-ayat Allah, akan bertambah dekatlah dirinya kepada Allah, dan bertambah pula keimanan dan kecintaan kepada-Nya. Dari pengaruh peredaran dan jarak antara bumi, bulan, matahari dan bintang-bintang itulah bergantung segala perkembangan dan kehidupan di muka bumi ini. Terjadi siang dan malam, musim panas, dingin, sedang, turunnya hujan, tumbuh dan berbuahnya segala tumbuhan dan binatang. Semua karena pengaruh peredaran bumi, bulan, matahari dan benda langit lainnya.

Permulaan Tahun Hijriyah
Sebuah dokumen penting telah disampaikan kepada Khalifah Umar bin Khattab dengan memakai tanggalnya hanyalah bulan Syakban semata, sehingga Khalifah Umar sampai-sampai mengatakan : ‘’ Syakban mana? Syakban yang sedang kita hadapi inikah, atau yang akan datang, atau yang sudah lampau?’’

Dalam menelusuri sejarah penetapan tahun hijriyah itu dikabarkan, bahwa Abu Musa Al-Asyari, Gubernur di Basrah (Irak) di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, pernah mengirim surat kepada Khalifah II itu, yang menyatakan bahwa ia telah menerima surat dari Khalifah yang tidak memakai tanggal. Hal ini dirasakan oleh khalifah sebagai sindiran halus tentang penanggalan (kalender) yang seragam, yang dipergunakan sebagai tanggal, baik di kalangan pemerintah maupun kepentingan umum.

Sindiran halus itu mendorong Khalifah Umar untuk memanggil stafnya untuk membicarakan dan memutuskan soal yang dianggap remeh sebelum itu. Tetapi satu-satunya sangat penting dan menentukan yaitu menetapkan penanggalan (kalender) Islam. Soal yang paling menarik dalam pembicaraan itu adalah : dari mana dimulai titik awal atau permulaan tahun baru Islam. Ada empat alternatif yang digunakan, yaitu, pertama dihitung dari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Kedua, dihitung dari wafatnya Rasulullah SAW. Ketiga, dihitung dari mulainya Rasulullah menerima wahyu. Keempat, dihitung dari hijrahnya dari Makkah ke Madinah. Usul yang keempat ini menurut catatan riwayat, dimajukan oleh Ali bin Abi Thalib, salah seorang dari staf Khalifah Umar bin Khattab yang termuda saat itu. Setelah didiskusikan secara mendalam, akhirnya disetujuilah usul supaya penanggalan (kalender) Islam yang akan ditetapkan itu dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah dan para Sahabat beliau dari Makkah ke Madinah, yang waktu itu masih bernama Yatsrib, dan kemudian menjadi Madinatul Munawarah, yang artinya kota yang memancarkan cahaya yang terang benderang.

Perbedaan dengan Tahun Miladiyah
Tahun miladiyah (masehi) disebut juga Yulian Era atau Gregorian Era (Calendar). Disebut tahun miladiyah atau masehi sebab awalnya ditetapkan dengan kelahiran Nabi Isa AS (Yesus). Disebut Yulian karena diakui dan dipergunakan sejak berkuasanya Yulius Caesar di Roma, kemudian diubah dengan nama Gregorian Calender, karena terjadinya perubahan tanggal, 4 Oktober 1582 diganti dengan tanggal 15 Oktober 1582. Jadi perhitungan harinya dikurangi 11 Hari. Di saat itu berkuasa Paus Gregory. Sebelum tahun 1582, yang disebut satu tahun adalah lamanya peredaran bumi mengelilingi matahari yang lamanya ditetapkan 365 hari 6 jam. Setelah berjalan perhitungan itu selama hampir 16 abad lamanya, ternyata sudah tepat datangnya musim dingin dan musim panas.

Diketahui tahun itu lamanya peredaran bumi dikelilingi matahari adalah 365 hari, 5 jam, 49 menit dan 12 detik. Jadi dengan penetapan setahun lamanya 365 hari dan sekali 4 tahun menjadi 366 hari, maka perhitungan itu berlebih 10 menit 48 detik.

Kejadian ini dalam 16 abad sudah menjadi 11 hari lamanya. Sebab itu maka para ahli pada tahun 1582 mengubah tanggal 4 Oktober 1582 menjadi 15 Oktober 1582. Inggris baru mengakui perhitungan ini seabad kemudian yaitu pada tahun 1752, sedang Yunani baru mengakuinya pada tahun 1923 silam. Bumi sebagaimana diketahui dalam peredarannya mengelilingi matahari, kadang-kadang tepat yaitu matahari persis garis khatulistiwanya. Sedikit demi sedikit miring ke Utara, sehingga udara bahagian Utara permukaan bumi menjadi panas. Tepat pada tanggal 21 Juni tiba di puncak arah Selatan dan kembali matahari tepat di garis khatulistiwanya kembali. Lalu terus bertambah miring ke Selatan sampai pada kemiringan 231/1 derajat Utara dari bumi (Eropa), dan musim panas di bagian Selatan (Amerika). Dalam hal ini, Allah menjelaskan dalam firman-Nya :

‘’Dia Rabb (yang mengatur) dua Timur dan dua Barat. (QS. Ar-Rahmaan: 17)
Dengan segala perubahan letak bumi itulah diketahui segala macam musim, dan berkembang biaknya binatang, burung, atau ikan laut. Semua itu sangat penting diketahui untuk keselamatan pelayaran, penerbangan atau perkembangan segala yang terdapat di bumi ini.

Tahun Hijriyah
Tahun hijriyah juga disebut dengan Islamic Calendar, dihitung dari lamanya bulan mengitari bumi. Bulan adalah satelit bumi. Ke mana saja bumi beredar, bulan mengikutinya dengan mengitari bumi. Bulan mengitari bumi selama 29 hari, 12 jam, 44 menit dan 2,78 detik. Dalam satu tahun Hijriyah selama 12 kali bulan mengitari bumi, menjadi 354 hari lebih. Kelebihan 44 menit dan 2,78 detik itu dalam 30 tahun menjadi 11 hari. Sebab itu tahun Hijriyah dijadikan tahun pendek dengan umurnya 354 hari. Dan 11 hari dalam 30 tahun dijadikan tahun panjang yang umurnya 355 hari. Bulan Hijriyah ditetapkan umurnya bergilir 29 dan 30 hari. Yaitu bulan Muharram 30 hari umurnya, bulan Syafar 29, Rabbiul Awwal 30, Rabbiul Akhir 29, Jumadil Awwal 30, Jumadil Akhir 29, Rajab 30, Syakban 29, Ramadhan 30, Syawal 29, Zulqaidah 30, dan Zulhijjah 29/28. Di tahun panjang, bulan Zulhijjah dijadikan 30 hari.

Islamic Calendar
Hari bulan hijriyah dihitung dari terjadinya kesejajaran antara bumi, bulan dan matahari, yang disebut ijtimak, sehingga bulan lenyap sama sekali dari pandangan mata. Sebab ketika ijtimak itu, bulan kena sinar matahari menghadap ke matahari dan membelakangi bumi. Dan bila tidak kena sinar matahari tidak kelihatan. Di saat itu berakhirlah bulan dan besoknya dihitung sebagai bulan baru.

Karena sudah tidak sejajar lagi, maka pinggir bulan yang terkena sinar matahari dapat kita lihat dari bumi, sehingga bulan seperti sabit tipis, semakin hari semakin tebal. Tanggal 7 menjadi seperdua bundaran, tanggal 14 menjadi penuh, dinamai bulan purnama. Kemudian berkurang dan berkurang, tanggal 21 menjadi  bundaran, dan tanggal 29 lenyap karena kembali sejajar antara bumi, bulan dan matahari.

Dengan demikian kita ingat bahwa antara tahun miladiyah dengan tahun hijriyah terdapat perbedaan umurnya 10, 11 atau 12 hari dalam setahunnya. Namun semua ibadat dalam Islam dipergunakan perhitungan tahun hijriyah. Sebab itulah dinamai juga perhitungan sebagai tahun Islam atau Islamic Calendar.***
Bashori Alwi
Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Nurul Jadid Paiton dan
Lajnah Falakiyah MWC NU PAITON