Pada
masa klasik dan pertengahan belum pernah terjadi perdebatan tantang, apakah
“umat Islam” harus melakukan pengintegrasian atau pemisahan antara agama dan
Negara? Atau apakah Islam itu punya konsep sistem kenegaraan atau tidak? Hal
ini karena dalam sejarahnya sejak zaman Nabi sampai jatuhnya kesultanan Turki
1924, Islam sudah terintegrasi dalam Negara.
Sebagian besar tokoh dan Gerakan
Islam berpendapat, bahwa islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara. Islam
menurut mereka telah mengatur prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip dasar itu adalah keadilan,
permusyawaratan, persamaan, persaudaraan dan kebebasan.
Seperti
diketahui sepanjang sejarah Aswaja didukung oleh mayoritas umat Islam. Ia
diakui sebagai ideology berbagai kelompok – baik besar maupun kecil –
diberbagai penjuru dunia Islam. Setiap periodisasi sejarah menampilkan Sunnisme
dengan dinamikanya yang kahas. Setiap kawasan dalam dunia Islam juga memiliki
keunikan-keunikan tertentu dalam implementasi Sunnism. Bahkan sekelompok ummat
menampilkan karakter berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Sunnism adalah
sebuah ideology atau paham keagamaan yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya
bisa dilihat dari keberagaman masing-masing kelompok pendukunya dalam
mengaktualisasikan ideology ini.
B.
Memahami Aswaja
Mengenai
pengertian Aswaja disini adalah sebuah kelompok atau gerakan dalam sejarah,
yang bisa dipahami sebagai sebuah doktrin yang telah dirumuskan (dari aspek
teologis), sehingga kemudian pengertian ini berkembang menjadi sebuah sekte
atau gerakan yang dilawankan dengan Mu’tazilah atau Syi’ah. Kalau kita telaah
sejarah bahwa kemunculan Aswaja
merupakan suatu reaksi terhadap Mu’tazilah yang dianggap ‘sesat’ karena telah
mendewakan akal dari pada wahyu. Lalu
secara spesifik, Aswaja dirumuskan menjadi sebagai mazhab yang dalam berakidah
mengikuti salah satu imam Al-Asya’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti
salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali) dan dalam bidang
tasawuf mengikuti imam al-Junaidi atau al-Ghazali.
Dalam
era modern seperti sekang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin
canggih, serta perubahan social begitu cepat dan problem-problem social pun
semakin kompleks, maka ketentuan-ketentuan hokum yang telah dirumuskan Aswaja
yang bersifat qauli/aqwali tidak selamanya mampu menjawab problema dan
tantangan zaman tersebut. Kini saatnya muali dikembangkan pemikiran-pemikiran
teologis yang menyentuh pada persoalan-persoalan praktis pada masyarakat dan
kepentingan umat. Islam mendeklerasikan kesatuan jenis manusia sejak 14 abad
silam. Sehingga Islam menjamin pertumbuhan wujud individu, menghapus struktur
etnis, kelas-kelas dan suku disamping
menghapus kecenderungan manusia yang muncul dari berbagai factor diskriminasi.
Kemerdekaan
dan kebebasan merupakan elemen penting dari ajaran Islam, karena merupakan
fitrah Allah SWT yang lazim. Yaitu suatu kebebasan dan kemerdekaan yang tidak
melukai prinsip-prinsip social umum dan tidak membayakan pihak-pihak lain.
Keseimbangan
antara kebutuhan institusi pemerintah yang kuat disatu pihak dan partisipasi
masyarakat secara penuh dipihak lain menyebabkan kemacetan teori politik klasik
dari kaum sunni. Mulanya sunni berupaya menemukan sintesis antara teori politik
khawarij; kebebasan penuh warga masyarakat untuk menentukan jalannya
pemerintahan dan teori politik syi’ah; ketundukan mutlak kepada pemegang
kekuasaan. Namun kenyataannya adalah secara historis bahwa penyebab kemacetan
teori politik ini terjadi atau ditimbulkan oleh tekanan yang lebih kuat kepada
kekuasaan pemerintah.
C.
Teori
Kenegaraan; menurut Al-Qur’an
Relevansi
teori kenegaraan Islam; sebuah pendekatan objektif yang dilakukan dengan
melihat sumber-sumber tekstual (Al-Qur’an dan As-Sunnah) secara historis.
Al-Qur’an memberikan suatu cara tertentu semisal proses pelaksanaan Syura
(permusyawaratan) sebagai wacana penyalur aspirasi individu warga baik mikro
ataupun makro yang merupakan bagian pokok politik ditentukan dan diinginkan
oleh Al-Qur’an. Syura atau musyawarah adalah fondasi bermasyarakat yang member
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.
Demikian
juga hak-hak individu juga ditegakkan, Rasulullah SAW bersabda; tiada
ketundukan kepada makluk (termasuk yang paling berkuasa sekalipun) dalam hal
yang menentang (ketentuan) Allah SWT. Dalam suatu ayat al-Qur’an yang artinya;
tundukkanlah kalian kepada Allah SWT, utusan-Nya dan pemegang kekuasaan
(pemerintah) diantara kalian.
Namun
demikian, suatu ketundukan terhadap kekuasaan pemerintah mensyaratkan beberapa
ketentuan diantaranya ; a) tindakan yang adil, b) mengutamakan kemaslahatan
ummat/umum dan c) pemenuhan batas minimal kebutuhan hidup. Bahkan lebih lanjut
di dalam al-Qur’an kita diperintahkan untuk; berlaku adil, ketentuan akan
keharusan mencari seorang hakim di dalam sengketa, keadilan dalam konteks moral
sebagai sikap hidup akan kelayakan dalam memegang jabatan, kemaslahatan umum
secara operasional harus didasarkan kepada kepentingan orang banyak (qawaid
al-fiqh) semisal perintah menyelenggarakan jihad yang direalisasikan dalam
wujud penyediaan makanan, penyediaan pakaian dari aurat, penyediaan papan,
obat-obatan dan biaya perawatan baik muslim dan non-muslim yang hidup damai
dalam masyarakat yang sama.
Akan
tetapi ketaatan, keadilan dan kemaslahatan umum tidak hanya menjadi unsur
semata tanpa diimbangi dengan yang lain, masih banyak unsur lain yang perlu
dipertimbangkan dalam sebuah pengembangan model pemerintahan. Beberapa hal yang
dapat dijadikan pertimbangan tersebut antara lain;
a.
Pandangan
institusi pemerintah
Merupakan unsure mutlak dari
sebuah model ideal yang bisa dikembangkan baik berupa bentuk kelompok inti atau
permanen dan atau pengaturan kelompok inti permanen dengan lembag-lembaga
diluar. Institusi ini sebagai penentu keputusan pemerintah yang tanpa bisa
mungkin dibantah lagi (hukum formal)
b.
Peran hukum formal
Sebagai sebuah pemerintahan model
ideologis yang tidak hanya membatasi perkembangan hukum dan terpaku pada pola yang sesuai dengan
kebutuhan ideologi.
c.
Batasan
atas jangkaun hukum
Pengembangan hukum itu akan
berarti pembatasan hak warga untuk melakukan perubahan social yang
diinginkannya melalui cara-cara yang demokratis. Sehingga akan sangat
menentukan orientasi kehidupan masyarakat tersebut.
d.
Kondisi
masyarakat
Unsur utama lainnya adalah bentuk
masyarakat yang terbuka atau tertutup dalam struktur yang dilapiskan
(stratified) secara segregatif melalui pelapisan berdasarkan agama, asal-usul
etnis, bahasa, system budaya maupun keyakinan politik.
e.
Pola
kebudayaan masyarakat
Hal ini perlu dipertimbangkan
untuk mengetahui pola masyarakat yang berkembang apakah masyarakat monolitik
atau masyarakat pluralistic secara budaya.
D.
Alternatif
Islam tentang Teori Kenegaraan
Dalam
perspektif kontemporer, prinsip rekonstruksi teori kenegaraan ini akan
cenderung memunculkan sikap menolak atau menerima dua pandangan yang saling
berlawanan. Satu pihak menggugat kepada masyarakat sekuler dan semi sekuler
(masyarakat dewasa ini). Sehingga konsep rekonstruksi kenegaraan ini merupakan
upaya yang kurang menguntungkan karena adanya solidaritas massa yang cenderung
menjadi penghambat pengembangan pluralitas budaya. Muncullah kesenjangan budaya
(cultural lag) sebagai penolakan seriap pemecahan masalah dalam kerangka sikap
inklusivistik. Akibatnya kadar kontemplasi spiritual muslim menjadi sangat
menipis dikarenakan oleh kebutuhan pencaria pemecahan praktis (hulul alamiyah,
impelementable solution).
Sehingga
Islam sebagai alternative untuk penyelesaian krisis umum kemanusiaan dan
penolakan fungsi komplementer sebenarnya hanya awal dari kesia-siaan upaya
sekterian untuk kepentingan Islam saja dalam rekonstruksi sebuah teori
kenegaraan. Dengan tanpa mengaitkan teori kenegaraan tertentu, Islam menawarkan
beberapa hal untuk pemecahan masalah-masalah umum kemanusiaan yang dapat
diperhitungkan dari perspektif kontemporer, sebagai berikut;
1.
Sistem
pemerintahan universal
Memberikan kedudukan sama dimuka
hokum kepada semua warga Negara tanpa melihat asal usul, agama, etnis, bahasa,
budaya maupun keyakinan politik atau jenis kelaminnya
2.
Sistem
perwakilan
Berdasarkan ketentuan satu orang
satu suara (one man one vote) yang akan menjamin kedaulatan rakyat sebenarnya
3.
Hokum
nasional
Berlaku untuk semua warga yang
diramu dari unsure-unsur hokum agama yang diterima oleh semua pihak disamping
dari sumber-sumber lain.
4.
Jaminan
penuh atau kebebasan
Kebebasan untuk berpendapat,
kebebasan berserikat dan kebebasan menguasai hak milik.
5.
Pembagian
Tanggungjawab
Tiga jenis lembaga Negara;
Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif yang bertugas pada masing-masing bidang
kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya.
6.
Kebebasan
agama
Kebebasan mengembangkan agama dan
menyebarkan ajaran spiritual tanpa pembatasan apapun selama tidak menjurus
kepada kriminalitas
7.
Kebebasan
akan kegiatan ilmiah
Bebas melakukan kegiatan ilmiah
dalam bentuk apapun, atas karya-karya yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan
itu dari tindakan sepihak oleh semua otoritas termasuk otoritas keagamaan
diluar jalur pengadilan.
E.
Penutup
Semua
bentuk pemecahan yang ditawarkan diatas merupakan titik tolak bagi sebuah
pemerintahan yang memiliki keabsahan dalam perspektif kontemporer. Pada
beberapa butir diatas dapat ditambahkan; keadilan ekonomi, interdependensi kaum
du’afa’, otonomi moral atas politik dan sebagainya. Semua ini harus
dioperasionalkan dengan melalui alienasi mendasar diantara warga masyarakatnya
yang akan melahirkan labilitas inheren dalam kehidupan bangsa, dan karenanya
perlu ditopang dengan penggunaan dan atau kekuasaan. Jika hal ini harus
menopang sebuah teori kenegaraan, maka akan sia-sialah semua upaya itu secara
keseluruhan. Karena pada dasarnya Islam adalah konstruk moral yang berpijak
pada persepsi nasional dan himbauan spiritual bukan pada sistem masyarakat yang
semata-mata bertumpu pada kekuatan politik.
REFERENSI
Wahid, Abd dkk 2011; Militansi Aswaja dan Dinamika Pemikiran
Islam, Aswaja Center Unisma; (3-8 Mei) I. Visipress Offset. Malang
Jamaluddin Burhan
2011: Particulari Sunnism Versi Hasyim Asy’ari Tentang Ahl As-Sunnah Wa
Al-Jamaa’ah; in Islamica Jurnal Studi Keislaman vol. 5, No. 2 (hal.
78-82 Maret) Pasca IAIN Sunan Ampel
FARIHIN
Penulis adalah Pembina IPNU MA Riyadlus Sholihin Kota Probolinggo